Kisah berikut ini adalah sebuah kejadian nyata dan merupakan pengalaman
yang tak mungkin dapat kulupakan seumur hidupku. Memang nama-nama tokoh
dan tempat di alam kisah ini sengaja kusamarkan, tapi urutan kejadiannya
bukanlah khayalan atau hasil rekaan imajinasiku semata. Ceritanya
mengenai hubungan affair-ku dengan seorang wanita bersuami sekitar tahun 2005 yang lalu dan berlangsung selama 3,5 tahun.
Ketika itu usiaku 25 tahun dan aku bekerja pada sebuah perusahaan asing
yang beroperasi di luar Jakarta selama 24 jam sehari, sehingga ada
bagian tertentu di kantor pusat yang bertugas dalam 3 shift untuk
memonitor kegiatan operasi di lapangan dan aku adalah salah satu
pegawainya.
Pada suatu hari ketika sedang tugas malam, aku menerima telepon kesasar
sampai 3 kali dari seorang wanita. Akhirnya karena jengkel, timbul
keinginanku untuk iseng-iseng menggodanya serta mengajak berkenalan yang
ternyata ditanggapinya dengan antusias sampai tidak terasa kami
mengobrol selama 1,5 jam di telepon.
Wanita itu memperkenalkan namanya sebagai Lisna (aku memanggilnya Mbak
Lis), berusia 34 tahun dan telah bersuami serta mempunyai tiga orang
anak. Suaminya seorang pejabat di sebuah instansi pemerintah berusia 48
tahun yang menikahi Mbak Lis ketika dia berusia 18 tahun dan baru lulus
SLTA. Anak pertamanya perempuan berusia 15 tahun.
Sejak saat itu aku tidak pernah lagi merasa jenuh dan sepi bila sedang
tugas malam karena Mbak Lis sering meneleponku walau hanya sekadar untuk
mengobrol saja. Menurut pengakuannya, Mbak Lis merasa kesepian karena
sering ditinggal suaminya bertugas ke luar kota dan dia mengetahui
suaminya punya simpanan di luar.
Sebagai orang dewasa, pembicaraan kami juga sering menyerempet hal-hal
yang agak miring. Kalau sudah begitu, biasanya nada bicara Mbak Lis
berubah menjadi sedikit berbisik berat seperti orang bangun tidur
sementara aku enjoy dengan kesendirianku di ruang kantor yang dingin
ber-AC.
Tak terasa tiga bulan sudah kami bertelepon ria tanpa pernah bertemu
muka dan selama itu selalu dia yang meneleponku ke kantor ataupun ke
rumah karena aku tidak pernah diberi nomor teleponnya (katanya dia takut
ketahuan suaminya).
Suatu siang Mbak Lis menelepon ke rumahku dan mengajakku nonton film,
mulanya aku ragu karena merasa belum siap untuk bertemu. Aku berdalih
bahwa badanku masih letih karena habis tugas malam, tetapi Mbak Lis
tetap memaksa dan meminta bertemu sorenya supaya aku bisa istirahat
dulu. Aku lalu menyanggupinya karena tidak mau mengecewakan dia.
Jam 14:30 sehabis mandi, Mbak Lis meneleponku lagi dan kami janjian
untuk bertemu di sebuah bioskop dengan tidak lupa memberitahukan ciri
masing-masing. Sesampainya di bioskop aku sempat dibuat kesal karena
tidak kujumpai wanita dengan ciri-ciri seperti yang dikatakan Mbak Lis,
wah jangan-jangan dia mau ngerjain aku nih.
Setelah hampir 1 jam menunggu, tiba-tiba aku merasakan sebuah tepukan
ringan di punggungku. Dan ketika aku berbalik, tampak Mbak Lis sudah
berdiri di belakangku dengan senyumnya yang membuatku terpana.
"Bayu ya?" sapanya sambil mengulurkan tangan.
"Ya, mm.. Mbak Lis..?" aku balas bertanya agak tergagap sambil menyambut tangannya. Ah, betapa halus dan lembutnya tangan itu.
"Maaf ya terlambat, soalnya macet sih.." katanya kemudian.
"Nggak apa-apa kok Mbak, saya juga belum terlalu lama menunggu", jawabku
berbohong sambil mataku tak lepas menatapnya. Rasa kesalku segera
hilang setelah melihat Mbak Lis yang tampak anggun itu.
Sosok tubuh Mbak Lis sedang-sedang saja, tingginya 158 cm, berat sekitar
45 kg, kulitnya kuning halus dan rambut hitam bergelombang sebahu.
Wajahnya ayu memancarkan kelembutan seorang ibu dan kalau berbicara
ramah sekali dengan selalu diiringi senyum yang tak pernah lepas dari
bibir mungilnya yang tipis. Dia tampak begitu anggun (dan seksi) dengan
setelan blus ketat sutra hijau muda berlengan pendek dan celana panjang
katun hijau lumut yang menampakkan bulu-bulu halus di tangannya dan
lekuk tubuhnya yang sintal. Aku rasanya seperti kehilangan kata-kata
untuk berbicara, sampai akhirnya Mbak Lis yang memulai lagi.
"Kita makan dulu yuk, kamu pasti belum makan. Kebetulan di dekat sini
ada restoran ayam bakar yang enak lho", ajaknya sambil menggandeng
tanganku.
Kami makan dengan santai sambil berbincang-bincang disertai gurauan yang
kadang membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Kulihat Mbak Lis sudah
bisa berbicara lebih lepas sehingga suasana kakupun berangsur-angsur
hilang.
Sehabis makan kami kembali ke gedung bioskop dan setelah membeli tiket
kami menyempatkan waktu untuk melihat gambar-gambar film yang ada di
lobby bioskop sambil tetap bergandengan tangan. Tapi kali ini Mbak Lis
lebih merapatkan tubuhnya ke tubuhku dengan cara memeluk lenganku bahkan
terkadang dia bersikap lebih berani dengan memeluk pinggangku, secara
refleks aku pun membalas dengan merangkul bahunya atau memeluk
pinggulnya.
Sentuhan bagian depan tubuh Mbak Lis membuat naluri kejantananku
tergugah, apalagi ketika kulihat kancing paling atas blus yang
dikenakannya sudah terbuka (aku tidak tahu kapan dia membukanya). Tampak
belahan sepasang bukit yang mulus mengintip dari balik BH-nya membuat
darahku berdesir dan tatapan mataku seakan tak mau lepas darinya.
Ketika pengumuman tanda dimulainya jam pertunjukan terdengar, kami pun
memasuki gedung bioskop untuk mencari tempat duduk yang sesuai dengan
nomor kursi yang tertera di tiket (sengaja aku memilih tempat duduk di
deret paling belakang). Mbak Lis duduk di sebelah kananku sambil tangan
kirinya menggenggam dan sesekali meremas tangan kananku.
Tak lama kemudian lampu bioskop dipadamkan dan film dimulai, kami nonton
dalam keadaan diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Kira-kira 10
menit berlalu, Mbak Lis menyandarkan kepalanya di bahuku dan tangan
kanannya menarik tanganku ke wajahnya. Diusapkannya jari-jariku ke
pipinya, ke telinganya lalu ke bibirnya sambil memberikan kecupan ringan
di setiap jari-jariku. Ketika aku sedang menatap wajahnya yang
tertunduk menciumi jari-jariku, Mbak Lis menengadah dan balas menatapku.
Mata kami saling menatap dalam jarak yang sangat dekat, kemudian
kuberanikan tanganku mengangkat dagunya dan mencium bibirnya yang tipis.
Mbak Lis diam saja, tidak menolak dan juga tidak membalas ciumanku,
bibirnya masih terkatup rapat. Aku jadi penasaran dan semakin nekat,
kukecup lagi bibirnya dengan sekali-kali mengulumnya.
Akhirnya Mbak Lis bereaksi juga, bibirnya terkuak sedikit dan dia
membalas ciumanku, lama sekali kami berciuman sampai kemudian Mbak Lis
menghentikannya sambil mendesahkan namaku serta meremas dan menarik
kembali tanganku ke bibirnya. Tapi kali ini Mbak Lis tidak hanya
menciumi jari-jariku, dia juga mulai memasukkan jariku ke dalam mulutnya
dan mengulumnya dengan disertai jilatan-jilatan halus dan gigitan
nakal.
"Mbak jadi gemas, Bay", bisiknya.
"Mbak yang bikin gemas", bisikku sambil mengecup daun telinganya. Mbak
Lis menggelinjang kegelian, membuatku semakin bergairah menciumi daerah
sensitif di sekitar telinga dan lehernya itu.
"Aaahh Bayu.." Mbak Lis mendesah lagi.
"Kamu bandel.."
"Tapi suka kan..?" kataku sambil merengkuh wajahnya dan mendaratkan
ciuman di bibirnya. Kali ini Mbak Lis membalas ciumanku dengan bergairah
sambil memainkan lidahnya di dalam mulutku, sehingga lidah kami saling
berpagutan. Tangan Mbak Lis mulai meremas dadaku. Aku pun tak mau kalah,
kuusapkan tangan kiriku pada daerah-daerah sensitif di telinganya,
lehernya dan terus turun sampai ke dadanya lalu menyusup ke dalam
blusnya.
"Hmm.." terdengar Mbak Lis menggumam dalam kuluman bibirku.
"Ouuhh.. uuhh.." desahnya sambil tangannya mencengkeram leher bajuku
ketika kuremas dadanya dan kuraba puting susunya dari balik BH.
"Masukin tangannya, sayang.." kata Mbak Lis sambil membuka satu lagi
kancing blusnya. Kusingkap BH-nya dan kurogoh dadanya yang kenyal,
sementara tangan kanan Mbak Lis mulai merambat turun ke perutku dan
turun terus sampai ke selangkanganku. Diremas-remasnya batang kemaluanku
yang sudah tegang dari luar celana sambil mengerang dan mendesah
sementara bibir kami terus berciuman dan mengulum lidah. Kupilin puting
susu Mbak Lis dengan jari-jariku sambil meremas dadanya. Ooh.. ingin
sekali rasanya aku menciumi dada itu serta menghisap dan menjilati
putingnya. Tangan Mbak Lis pun makin bergairah mengusap dan meremas
selangkanganku.
"Buka dong Bay.." desah Mbak Lis sambil berusaha untuk membuka zipper
celanaku. Kulepaskan pelukanku untuk membantunya membuka kait ikat
pinggangku, lalu dengan sigap Mbak Lis memasukkan tangannya ke dalam
celanaku dan melanjutkan meremas batang kemaluanku yang masih tertutup
celana dalam. Sesekali tangannya merogoh lebih dalam untuk meremas
biji-biji kemaluanku. Uuhh.. nikmatnya.
Mbak Lis lalu menyandarkan kepalanya di dadaku, disingkapnya celana
dalamku ke bawah sehingga batang kemaluanku kini terbebas dan mengacung
seutuhnya seakan memperlihatkan kesiagaannya. Kurasakan kehangatan
tangan Mbak Lis ketika mencengkeram batang kemaluanku, meremasnya dan
mengusap-usapkan ibu jarinya pada kepala batang kemaluanku, membuatku
mendesis menahan rasa geli yang mengalirkan nikmat di sekujur tubuhku.
"Hmm.." kudengar Mbak Lis beberapa kali menggumam sambil memperhatikan
dan mengurut batang kemaluanku yang berkedut-kedut dalam genggamannya.
Kurasakan kepala Mbak Lis yang pelan-pelan bergerak turun untuk
menghampiri batang kemaluanku, rupanya Mbak Lis sudah tidak dapat
menahan keinginannya untuk memenuhi ajakan batang kemaluanku yang tegak
menantangnya. "Jangan Mbak.." bisikku sambil menahan gerakan turun
kepala Mbak Lis karena kusadari situasi di dalam bioskop tidak
memungkinkan kami untuk lebih dari sekedar melakukan pekerjaan tangan.
Mbak Lis lalu menengadahkan wajahnya menatapku.
"Bayu.. please.." Mbak Lis mendesah meminta persetujuanku dengan tatapan mata sayu sambil tangannya terus mengurut kejantananku.
"Jangan Mbak.. dikocok saja.." balasku sambil menaikkan kaki ke sandaran
kursi di depanku yang kebetulan kosong untuk memudahkan Mbak Lis
meng-eksploitasi batang kemaluanku. Kurengkuh wajah Mbak Lis dengan
tangan kiriku dan kucium bibirnya yang merekah di hadapanku sementara
tangan kananku memeluk bahunya. Kami berciuman lama sekali dengan saling
memilin lidah di dalam mulut. Kurasakan tangan Mbak Lis semakin intens
meremas dan mengocok batang kemaluanku, sementara mulutnya sesekali
menggumam dalam pagutanku ketika dirasakannya tanganku mengelus daerah
sensitif di belakang telinganya.
Tangan kiriku kini sibuk membuka kancing blus yang dikenakan Mbak Lis
dan menyusup ke dalamnya, meremas dadanya yang kenyal serta
mempermainkan puting susunya dengan jari-jariku. Mbak Lis merubah posisi
duduknya dengan bersandar di dadaku dan memindahkan kendali atas batang
kemaluanku ke tangan kirinya. Didekapkannya kedua tanganku di dadanya
sehingga aku lebih leluasa meremas kedua dadanya yang kini telah terbuka
karena BH-nya telah kusingkapkan ke atas serta memilin kedua puting
susunya yang telah mengeras.
"Aaahh.. oouuhh.." Mbak Lis medesah dan kemudian kulihat tangan kanannya
bergerak ke bawah menggosok-gosok selangkangannya dan tangan kirinya
semakin keras mencengkeram batang kemaluanku sambil mengusap kepala
kejantananku dengan ibu jarinya. Kurasakan aliran darah di
selangkanganku bertambah cepat dan deras, menimbulkan sensasi kenikmatan
yang tak terbayangkan.
"Mbak nggak tahan, Bayu.." desahnya sambil menarik satu tanganku ke
mulutnya dan kemudian menjilati dan mengulum jariku dengan penuh nafsu.
Akhirnya puncak sensasi itu datang juga ketika kurasakan kawah di
selangkanganku menggelegar ingin memuntahkan laharnya. Kutarik tanganku
dari dada Mbak Lis dan kucengkeram tangannya yang sedang mengocok batang
kemaluanku. Serasa tak sabar, kubantu Mbak Lis mengocok batang
kemaluanku lebih kencang. Dan akhirnya.. "Ooouuhh.." aku mendesah
tertahan ketika kurasakan batang kemaluanku mengejang kemudian
berkedut-kedut memuntahkan cairan kenikmatan yang menyemprot
berkali-kali membasahi tangan kami.
"Ooouuhh.. enak sekali Mbak.." kataku sambil melepaskan nafas panjang
ketika kurasakan puncak kenikmatanku mereda, batang kemaluanku telah
berhenti memuntahkan cairannya dan tinggal menyisakan lelehannya yang
kemudian diratakan oleh Mbak Lis dengan jari telunjuk ke seluruh
permukaan kepala batang kemaluanku.
Tanpa mengucapkan kata-kata, Mbak Lis sejenak beralih dari pelukanku
untuk mengambil tissue dari dalam tasnya. Kemudian sambil kembali
bersandar di lenganku, dengan telaten disekanya batang kemaluanku mulai
dari kepala sampai ke batang dan pangkalnya. Ah, sejuk sekali kurasakan
usapannya. Lalu dilanjutkannya menyeka tanganku dan tangannya sendiri
yang terkena semprotan spermaku dengan lembar tissue lainnya.
Mbak Lis lalu mengecup bibirku dengan mesra, tidak kurasakan birahi di
kecupannya yang begitu lembut. Seakan telah terlupakan terpaan hawa
nafsu yang baru kami alami bersama. Aku kagum padanya, begitu cepat Mbak
Lis menetralisir emosinya. Kami lama terdiam sambil berpelukan setelah
sama-sama merapikan pakaian yang acak-acakan.
Ketika film berakhir dan lampu bioskop telah dinyalakan, kami saling
berpandangan seakan tidak percaya dengan apa yang baru dilakukan. Segera
kami berdiri dan bersiap untuk meninggalkan gedung bioskop, sampai
kemudian Mbak Lis menahanku dan memandang geli ke arahku.
"Kamu seperti ngompol.." katanya sambil tertawa kecil dan menunjuk
celanaku. Dengan penasaran aku menunduk dan ketika menyadari apa yang
ditunjuk oleh Mbak Lis, aku pun tersenyum kecut menahan geli dan malu.
Ternyata semburan spermaku begitu kuat sehingga ada yang kesasar keluar
dan meninggalkan noda basah di celanaku.
"Mbak sih.. sudah ah, nggak usah dibahas", kataku sambil mencubit pinggang Mbak Lis dan mendorongnya perlahan keluar bioskop.
"Mbak antar kamu pulang ya?" kata Mbak Lis sesampainya kami di luar bioskop.
"Nggak usah Mbak, saya mau langsung ke kantor saja", balasku.
"Kalau begitu Mbak antar kamu ke kantor boleh kan, please.." desak Mbak
Lis. Aku tak dapat menolak dan hanya mengangguk, Mbak Lis lalu
menyerahkan kunci mobil dan memintaku untuk mengemudikan mobilnya.
Di dalam mobil kami tidak banyak berbicara, seakan terlarut dalam
perasaan masing-masing. Mbak Lis menyandarkan kepalanya di bahuku sambil
memeluk dan mengelus-elus lenganku. Tak terasa kami telah memasuki
halaman gedung kantorku. Sebelum aku meninggalkan mobil, Mbak Lis
kembali mencium mesra bibirku.
"Maaf Bayu, jangan kapok ya?" kata Mbak Lis sambil mengelus pipiku.
"Apanya yang kapok?" balasku sambil mengedipkan mata dan perlahan-lahan keluar dari mobil.
"Kamu bandel.." kata Mbak Lis mencubit lenganku.
"Nanti malam Mbak temanin ya?" Mbak Lis menyambung sambil menarik bajuku dan kami pun kembali berciuman di jendela mobil.
Itulah kisah perkenalanku dengan Mbak Lis yang juga merupakan awal dari
affair-ku dengannya yang kemudian berlangsung lebih seru dan lebih
panas.
TAMAT