Hari itu aku telah kehilangan keperjakaanku! Aku merasa sangat bersalah.
Rasa salah itu begitu menghantuiku. Aku telah melakukan suatu perbuatan
yang sangat berdosa. Aku tak habis pikir, kenapa aku bisa berbuat itu!
Rasanya didikan Bapak Ibuku yang sedemikian ketat tak mampu mencegahku
dari kenistaan ini.
Maafkan aku Ibu! Maafkan aku Bapak! Aku telah melalaikan semua
nasehatmu! Aku hanya berharap ini adalah yang pertama dan terakhir
bagiku!
-oo0oo-
Membaca sepenggal catatan kelam di buku harianku, ingatanku kembali
melayang ke masa kurang lebih tiga belas tahun yang lalu dimana pada
saat itu aku untuk pertama kalinya mengenal apa yang dinamakan senggama.
Ceritanya begini: Ayahku adalah seorang Kepala Sekolah Dasar dan Ibuku
adalah seorang guru di salah satu SMP di Kota P, sebuah kota kecil di
wilayah E, Jawa Tengah, jadi bisa dibayangkan betapa ketatnya mereka
mendidik anak-anaknya. Itulah keadaanku.
Kurang lebih tiga belas tahun yang lalu saat aku jadi pengangguran
setelah gagal mengikuti UMPTN, aku merantau ke Jakarta untuk mencari
kerja sambil menunggu kesempatan untuk ikut UMPTN berikutnya. Selama di
Jakarta aku menumpang ditempat kontrakan kakakku yang juga masih
bujangan, yang saat itu sudah bekerja.
Sekian lama di Jakarta rupanya keberuntungan belum berpihak kepadaku,
sehingga akhirnya aku memutuskan untuk pulang kampung. Soalnya kupikir
mending jadi pengangguran di kampung sendiri daripada lontang-lantung di
kota orang.
"Mas..! Aku besok mau pulang saja ke P", aku minta ijin kakakku malam harinya setelah ia istirahat.
"Lho, ngapain pulang? Kan mending disini dulu, sambil nyari-nyari kerja.
Siapa tahu sebentar lagi dapat kerjaan" "Ah enggak enak nganggur terus
disini Mas. Mending nganggur di P aja. Banyak temannya. Disini
lontang-lantung sendirian enggak enak"
"Ya sudah kalau maumu begitu"
Akhirnya kakakku tidak bisa berbuat banyak dan membiarkan aku pulang ke
Kota P keesokan harinya. Siang itu aku sudah berangkat dari Grogol,
tempat kontrakkan kakakku ke arah Pulo Gadung untuk pulang kampung
dengan bus malam. Akhirnya aku memperoleh bus yang lumayan longgar,
karena memang penumpangnya sedikit. Aku memilih bangku yang isi 2
dibelakang dekat pintu belakang. Karena kebetulan tempat itulah yang
masih kosong. Lainnya sudah terisi walau cuma satu-satu. Aku tidak ingin
duduk dengan orang yang tidak kukenal karena aku memang agak kurang
bisa bergaul.
Bus berangkat dari Pulo Gadung dengan banyak bangku yang masih kosong.
Begitu sampai Cakung, bus berhenti lagi dan banyak sekali penumpang yang
ikut naik. Salah satu yang kebetulan memilih duduk di kursi sebelahku
adalah seorang perempuan yang kalau kutaksir mungkin umurnya sekitar 29
tahun-an. Saat itu aku masih baru 19 tahunan. Tubuhnya cukup tinggi
untuk ukuran wanita Indonesia yaitu sekitar 160 Cm dengan bobot yang
cukup proporsional. Tidak gemuk dan tidak pula terlalu kurus. Kulitnya
putih bersih dengan potongan rambut pendek ala Demi Moore. Wajahnya
tidak begitu cantik tapi cukup menarik untuk dipandang.
"Di sini masih kosong dik?" tanyanya yang sempat mengagetkanku
"Ooh.. ap.. apa Mbak?"
"Bangku ini masih kosong enggak? Ngelamun ya?", ia mengulangi pertanyaannya sambil tersenyum.
"Oh iya Mbak masih kosong kok!"
"Enggak mengganggu kan kalau aku duduk disini?"
"Oh.. eh.. enggak apa-apa Mbak!"
Akhirnya perempuan itu duduk di sebelahku. Yach, walaupun tidak begitu
cantik namun orangnya putih bersih. Dalam hati aku sempat bersorak juga,
aku pikir ini mungkin rejeki juga soalnya masih banyak kursi kosong eh,
kok perempuan ini malah memilih duduk di kursi paling belakang. Dan
dasar aku yang sulit bergaul, aku jadi cuma berani mencuri-curi pandang
kearahnya tanpa berani memulai percakapan. Hatiku dag-dig-dug tak karuan
soalnya gugup kalau berdekatan dengan perempuan yang belum kukenal.
Rupanya lama-lama perempuan itu tahu juga kalau aku selalu mencuri-curi
pandang kearahnya. Karena pas aku lagi melirik kearahnya, tiba-tiba ia
menengok kearahku sambil tersenyum. Plos! Aku tak sanggup berkata
apa-apa saking gugupnya karena ketahuan telah mencuri-curi pandang.
"Kenapa dik? Ada yang salah dengan diriku?"
"Eh.. oh.. enggak apa-apa kok Mbak", jawabku gugup.
"Lho dari tadi Mbak amati kamu selalu mencuri-curi pandang padaku memangnya kenapa?", ia masih tersenyum.
"Ah, eng.. enggak kok Mbak. Saya memang suka grogi kalau berdekatan dengan wanita yang belum kenal kok Mbak"
"Ooo.. begitu ya. Eh, ngomong-ngomong adik ini mau kemana?"
"Saya mau pulang ke Kota P, Mbak! Nah kalau Mbak sendiri mau kemana?", tanyaku agak berani setelah percakapan mulai terbuka.
"Sama Dik! Saya juga mau ke Kota P, tepatnya ke K. Adik P-nya dimana?" "
Sa.. saya di kotanya Mbak!"
"Kalau di kotanya.. kenal sama Mbak I enggak? Dia itu anaknya Pak S yang jadi Kepala SD di K. Dia juga rumahnya di kota-nya"
"Ooh, Mbak I yang dulu pernah jadi juara bintang radio ya Mbak? Kalau
itu sich saya kenal banget, wong itu kakakku yang paling besar kok. Dan
dia sekarang malah tinggal di Jakarta ikut suaminya. Sekarang dia ngajar
di salah satu SMUN di Halim."
"Ooh jadi adik ini adiknya Mbak I ya? Kok saya dulu waktu main ke rumah Mbak I nggak pernah ketemu Adik?"
Setelah melalui percakapan yang panjang akhirnya aku tahu namanya adalah
Mbak Yn dan bekerja di Instansi Keuangan di bilangan Kalibata Jakarta
Selatan. Ia kebetulan pada saat itu mau pulang untuk cuti selama dua
minggu. Dari percakapan itulah aku juga tahu bahwa ia sudah menjadi
janda karena suaminya kawin lagi dan ia memilih cerai dari pada dimadu.
Ia berumur 29 tahun saat itu dan sudah memiliki seorang anak perempuan
yang baru berumur 5 tahun yang tinggal dengan Bapak Ibunya Mbak Yn di K.
Kami berdua semakin akrab, karena Mbak Yn memang orangnya supel dan
pintar bicara. Pada saat ia mengeluarkan kue kering untuk dibagikan
padaku, tanpa sengaja tanganku dipegangnya. Badanku mulai gemetar tak
tahu apa yang harus kulakukan, sehingga aku tetap memegang tangannya
yang halus walaupun kuenya telah kupegang dengan tangan yang satunya.
Tanpa sadar kami masih berpegangan tangan untuk beberapa saat dalam
kegelapan bus malam yang melaju kencang menembus kegelapan malam.
Tanpa kata-kata kami saling meremas jemari masing-masing dalam
kegelapan, karena memang lampu bus telah dimatikan. Hatiku semakin
berdebar tak karuan. Apalagi saat kulirik ia juga menengok ke arahku
sambil tersenyum. Aku malu sekali, ingin kulepaskan tangannya, tetapi
justru ia semakin erat menggenggam jemariku. Bahkan ia menyenderkan
tubuhnya ke badanku. Aku semakin gemetar dan panas dingin dibuatnya.
"Dik, kenapa? Kok gemetaran sih?"
"Eh.. oh.. enggak kenapa-kenapa kok Mbak!"
"Memang adik belum pernah punya pacar?"
"Sudah pernah sich Mbak.. cuma cinta monyet. Biasa, cuman surat-suratan
waktu SMA dulu", gemeteranku semakin kelihatan dalam suaraku.
"Ooh, makanya gemetaran begini. Mbak ngantuk boleh tidur nyandar bahu adik khan?"
Tanpa menunggu jawaban dariku, Mbak Yn telah menyandarkan kepalanya ke
tubuhku. Aku yang duduk di dekat jendela jadi semakin terpojok. Entah
disengaja atau tidak pada saat ia menyandarkan tubuhnya ke tubuhku
bagian dadanya yang empuk ketat menekan lenganku. Hal ini membuat aku
yang belum pernah berdekatan dengan wanita menjadi sangat terangsang.
Batang kemaluanku mulai menggeliat bangun dan mengeras yang menimbulkan
rasa sakit karena terjepit celana jeans-ku yang ketat. Kemudian tanganku
dilingkarkan ke pundaknya dan sekarang ia menyandar di dadaku dengan
tangan yang bebas memelukku.
Udara malam yang dingin semakin membuat kami terlena dalam kehangatan
saling berpelukan. Apalagi suasana bus yang gelap sangat berpihak pada
kami. Tangan Mbak Yn bergerak perlahan menyusur tulang igaku dan
bergerak terus ke atas ke bawah. Aku yang merasa kegelian dan terangsang
bercampur aduk jadi satu menjadi sesak napasku. Ia terus menggerakkan
tangannya sampai akhirnya ia pun memegang tanganku yang satunya dan
dibimbingnya ke arah dadanya. Dengan rasa penasaran dan takut kubiarkan
saja apa yang dilakukannya. Aku membiarkan saja tanganku dibimbing
kearah dadanya yang kalau kulihat dari kaus yang dikenakannya besarnya
sedang. Begitu menyentuh tonjolan bukit yang membusung di balik kaos
Mbak Yn, tanganku ditekannya. Aku mengikuti saja apa yang dilakukan oleh
Mbak Yn. Karena belum tahu apa yang musti dilakukan dalam menghadapi
situasi semacam ini, tanganku hanya bergerak menekan-nekan seperti apa
yang dibimbing Mbak Yn tadi.
Sementara itu tangan Mbak Yn sudah mulai berpindah. Sekarang tangannya
mengelus lututku kearah atas dan balik lagi ke bawah sehingga membuat
batang kemaluanku yang kencang menjadi semakin sakit karena terjepit
celanaku yang ketat. Aku menggeser kakiku untuk memperbaiki posisi
batang kemaluanku yang terjepit celana dangan merenggangkan kedua kakiku
agak terbuka. Hal ini membuat tangan Mbak Yn semakin leluasa bergerak
menyusur pahaku di bagian dalam hingga ke selangkanganku dan menekannya
dengan lembut begitu tangannya berada diatas bagian celanaku yang
menonjol. Napasku semakin sesak mendapat perlakuan yang seumur hidupku
baru kurasakan ini. Apalagi kemudian tangan Mbak Yn seolah-olah memijat
dan meremas batang kemaluanku yang sudah sangat kencang dari luar celana
jeans-ku. Sementara tanganku tanpa sadar sudah mulai meremas-remas
kedua bukit payudara Mbak Yn bergantian dengan gemasnya.
"Sekarang sabuk Adik dilonggarkan", bisik Mbak Yn.
"Ken.. kenapa Mbak?" bisikku kaget.
"Kalau kencang begini kan ini-nya bisa kesakitan", kata Mbak Yn sambil menekan batang kemaluanku dari luar.
Seperti kerbau dicucuk hidungnya aku menurut saja apa yang dikatakan
Mbak Yn. Kulonggarkan sabukku dan duduk dengan posisi seperti semula.
Aku yang semula penakut sekarang menjadi lebih berani. Dengan tabah
kutelusupkan tanganku kedalam kaos Mbak Yn lewat bawah, kemudian merayap
mengelus perutnya yang halus ke atas dan terus keatas hingga berhenti
diatas bra Mbak Yn yang lembut. Tangan Mbak Yn bergerak ke balik
punggungnya dan tiba-tiba kurasakan kain penutup bukit payudara Mbak Yn
jadi longgar. Rupanya tadi Mbak Yn membuka kait bra-nya yang ada di
belakang. Aku jadi leluasa bergerak meremas dan mengelus kedua bukit
payudaranya yang kenyal dan halus silih berganti. Serasa mendapat mainan
baru aku dengan gemas dan antusias meremas, mengelus dan meraba-raba
kedua tonjolan bukit payudara Mbak Yn yang kenyal dan halus itu.
"Mmhh", napas Mbak Yn kudengar mulai memburu saat dengan gemas puting
payudaranya yang mulai mengeras itu kupelintir dengan jepitan telunjuk
dan ibu jariku.
Lalu aku sendiri merasakan sekarang tangan Mbak Yn mulai menarik
ritsluiting celana jeans-ku dan menyusupkan tangannya kebalik CD-ku.
Napasku tertahan dan badanku semakin panas dingin saat tangan Mbak Yn
yang lembut mulai menyelusup ke dalam CD-ku dan mengusap rambut yang
tumbuh disekitar kemaluanku. Tanganku semakin liar meremas dan meraba
kedua bukit kembar di dada Mbak Yn, ketika kurasakan ada sesuatu yang
meledak-ledak dan mendorong dibawah pusarku karena tangan Mbak Yn yang
hangat dan lembut kini sudah mulai mengusap dan meremas batang
kemaluanku dengan lembut.
Ke bagian 2