Kerja Usaha
Beberapa tahun yang lalu aku bertemu dengan calon suamiku, seorang
dokter muda yang sedang naik daun. Ketika ia mulai mengunjungi rumahku
dan rupanya mulai menunjukkan minatnya terhadapku, kedua orang tuaku
menunjukkan rasa senangnya. Maklumlah siapa yang tidak mau punya menantu
seorang dokter. Apalagi Mas Heru adalah dokter yang sedang mulai naik
daun di kota kediamanku.
Dibandingkan pacar-pacarku dulu, di antaranya ada yang pegawai bank,
dosen dan pengusaha, kedua orang tuaku paling bersikap mendukung
terhadap dokter muda ini. Apalagi kelihatannya Mas Heru cukup serius,
dalam arti bukan hanya sekedar ingin berkawan. Sebagai anak yang ingin
berbakti terhadap orang-tua tentunya aku harus mau mengikuti apa yang
mereka anggap baik untuk kehidupan dan masa depanku.
Walaupun sebetulnya aku tidak terlalu tertarik kepada Mas Heru. Untukku
dia orangnya terlalu serius, dan selalu berbicara tentang pekerjaannya.
Seolah-olah tidak ada hal lain dalam kehidupan ini yang menarik hatinya.
Sudah kubayangkan bagaimana akan membosankannya kehidupanku sebagai
istrinya. Apalagi sebetulnya aku termasuk orang yang popular sebagai
kembang sekolahku. Rasanya kalaupun mau mencari suami seorang dokter
kalau bisa jangan yang seperti Mas Heru. Tapi apa boleh buat, ternyata
tidak selamanya manusia dapat bebas memegang kendali hidupnya.
Ketika Mas Heru datang di dampingi kedua orang tuanya, lalu ayahku
menanyakan kesediaanku untuk dilamar Mas Heru, pada waktu itu rasanya
tidak ada jalan lain kecuali menerimanya. Pesta pernikahanku memang
cukup meriah, terutama untuk ukuran kota kecilku. Tidak lama setelah itu
Mas Heru, yang telah dipindah-tugaskan ke kota Bandung, memboyongku ke
tempat kediamanku yang baru.
Benar saja ternyata tepat apa seperti apa yang telah kuperkirakan. Di
kota Bandung aku kesepian dan segera merasa jenuh. Teman-temanku belum
banyak, sedangkan Mas Heru terlalu larut dalam tugas-tugasnya. Nikmatnya
kehidupan perkawinan, seperti yang pernah digambarkan kakak-kakakku,
ternyata tidak kualami. Bukan hanya secara sosial lingkungan Mas Heru
terasa begitu membosankan, kehidupan seksualku dengannya juga terasa
hambar. Hampir saja aku menelepon mantan pacarku, seorang pegawai bank
yang kebetulan juga dipindah ke kota Bandung. Walaupun dengannya dulu
aku tidak pernah sampai berani berhubunagan seks, tapi sebatas hubungan
oral yang pernah kami lakukan rasanya jauh lebih hebat daripada yang
kualami sekarang. Tapi untunglah aku sanggup menahan diri. Rasanya
kemana gengsi dan martabatku kalau harus mencari-carinya, padahal dulu
lamarannya ditolak orang-tuaku
Penjaga Kantor
Dalam keadaan hampir tidak tahan lagi, seorang wakil perusahaan farmasi,
yang kebetulan menjadi relasi suamiku, datang mengunjungiku. Dimintanya
kesediaanku untuk menjadi agen penyalur obat-obatan produksi
perusahaannya. Katanya menurut pengamatannya, aku orangnya supel, lincah
dan cantik, bahkan kelihatannya mempunyai bakat untuk meyakinkan orang
lain dengan mudah. Sangat berbeda, katanya lagi, dibandingkan dengan
suamiku. Dengan training dan dukungan teknis perusahaannya, aku akan
mampu mengembangkan usaha sebagai penyalur obat-obatan.
Karena tertarik kuminta ijin suamiku. Pada mulanya ia nampak keberatan,
karena takut ada konflik kepentingan dengan profesinya sebagai dokter.
Tetapi setelah kurayu terus-menerus akhirnya Mas Heru setuju juga.
Katanya aku boleh mencoba usaha baru ini, dengan syarat tidak memasarkan
obat-obatan yang kuageni di kota Bandung. Berarti dengan demikian aku
harus mau melakukan kegiatan-kegiatan marketing ku di kota-kota lainnya,
walaupun masih di sekitar Bandung juga.
Setelah membuat kalkulasi yang cukup mendalam, aku putuskan untuk mulai
melangkah. Kusewa sebuah ruko agak besar di Jalan Soekarno-Hatta, supaya
dapat dijadikan kantor sekaligus gudang. Dengan bantuan relasi pabrik
obat yang kuageni aku mulai menata usahaku. Terpaksa aku sendiri yang
harus melakukan perjalanan-perjalan untuk pemasaran, malah kadang-kadang
sampai berhari-hari.
Tanpa diduga hanya dalam tempo enam bulan kegiatanku sudah menampakkan
tanda-tanda keberhasilannya. Dengan keadaan yang semakin berkembang
bertambah pula karyawanku, termasuk untuk bidang pemasarannya. Tapi
beberapa pelanggan yang telah kubina sejak awal, termasuk di antaranya
beberapa rumah sakit dan apotik ternama, tetap kutangani sendiri. Karena
itulah walaupun usahaku kelak semakin maju, aku sendiri tetap melakukan
perjalanan-perjalanan yang cukup melelahkan, dalam rangka memelihara
hubungan dengan pelanggan-pelanggan lamaku.
Di kantorku pegawai yang paling tua bernama Pak Solichin, dan sebagai
penghargaan sering kupanggil mang Ihin. Barangkali karena dia sendiri
merasa akrab denganku dipanggilnya aku Neng Yasmin, atau kadang-kadang
Neng Mimien. Tanpa kuduga ternyata sebutan untukku ini akhirnya menjadi
populer di antara karyawan-karyawanku. Mereka resminya tetap menyebutku
Bu Yasmin atau Bu Heru, tapi tidak jarang juga Neng Mien atau Neng
Mimien. Karena aku masih muda, dengan usia yang tidak terlalu jauh
berbeda dari pegawai-pegawaiku, kubiarkan saja mereka menggunakan
sebutan akrab ini.
Di antara karyawanku ada seorang pemuda bernama Adli. Ia masih muda,
tetapi sudah berkeluarga dengan satu orang anak. Orangnya hitam manis,
gagah dan tampan, tetapi lugu sekali. Kelihatannya pendidikannya tidak
terlalu tinggi. Barangkali malah tidak sampai tamat SD atau SMP.
Walaupun demikian kesetiaannya sangat bisa diandalkan, bahkan caranya
membela apa yang dianggapnya sebagai kepentinganku sangat fanatik. Dia
mulai bekerja di tempatku sebagai penjaga malam, alias satpam, dan
ternyata sangat baik menjalankan tugasnya. Karena dia juga pandai
ilmu-ilmu bela diri, seperti silat dan sebagainya, beberapa stafku
mengusulkan supaya dia menjadi pengawalku. Khususnya dalam
perjalanan-perjalananku keluar kota. Apalagi akhir-akhir ini keadaan di
wilayah sekitar Bandung dirasa kurang aman.
Jadi mulailah Adli ikut mendampingiku keluar kota. Ternyata pengaturan
ini sangat memuaskanku, karena orangnya lucu dan jenaka. Sering-kali aku
merasa terhibur dengan lelucon-lelucon ataupun gayanya yang kocak. Di
samping itu ada lagi kelebihannya, sebagai seorang jago silat Adli juga
pandai mengurut dan memijat. Maka bukan sekali dua-kali aku sempat
memanfaatkan kebolehannya ini.
Pada suatu hari aku harus melakukan kunjungan ke kota-kota Sumedang,
Kuningan dan Cirebon. Endah, seorang tenaga pemasaran yang biasa
mendampingiku, kali ini tidak bisa ikut bersamaku. Kebetulan
orang-tuanya jatuh sakit. Karena Mas Heru tidak keberatan pergilah aku
dengan supirku, tentunya di kawal juga oleh Adli. Aku meninggalkan kota
Bandung dengan perasaan enteng saja. Tidak terbayang bahwa nantinya akan
terjadi sesuatu yang akan membawa pengaruh yang besar dalam
kehidupanku.
Tidur Bersama
Semua urusanku di Sumedang berjalan lancar, bahkan mungkin lebih banyak
waktu yang kugunakan ngobrol dengan langganan-langgananku daripada
betul-betul menangani masalah bisnisnya. Seusai untuk malam pertama ini
kami menginap di Sumedang. Kupilih kamar yang baik dan bersih untukku,
lalu aku mandi menyegarkan diriku. Ketika mencoba untuk tidur ternyata
aku tidak merasa mengantuk sama-sekali. Sulit sekali bagiku untuk
memicingkan mataku. Akhirnya daripada kesal sendirian kusuruh Adli
datang ke kamarku. Akan kuminta dia memijatku, sambil aku nanti
mendengarkan cerita-ceritanya yang jenaka.
"Ada apa neng?" tanya Adli sambil memasuki kamarku.
Kuminta Adli memijat punggungku. Sebagai karyawan yang setia ia mau
saja. Setelah beberapa saat kuminta ia menduduki pantatku, maksudnya
supaya tekanan pijatannya lebih terasa. Santai saja kubiarkan ia
mengurut dan memijati punggungku yang agak terbuka, karena jenis daster
yang kukenakan memang seperti itu.
"Neng, panas yah! Saya sampai keringetan!"
Dengan lugunya Adli mengeluh kepadaku. Santai saja kutanggapi kata-katanya,
"Ya buka aja kaosnya!"
Setengah geli dan juga kesal aku melihat dia langsung membuka kaosnya
dengan tanpa ragu sedikitpun. Lalu kembali dia memijati punggungku.
Tidak berapa lama kemudian terdengar Adli berbicara lagi,
"Neng.. Neng Mimien, maaf ya Neng, kalau ada yang mengganggu."
Polos betul anak muda ini. Begitu sopan dan lugu, tapi juga gagah pembawaannya.
Memang aku sendiri merasakan ada yang sesuatu mengganjal di atas pantatku.
"Kenapa sih memangnya?"
Tanyaku dengan maksud mau mengganggunya. Jawabannya yang polos membuatku
geli, tapi juga terangsang. Dengan sangat lugu dia menerangkan,
"Iya Neng, sudah seminggu belum kesampean.. eh.. gituan."
Kutanya lagi, "Kok bisa?"
"Iya habis kan sudah tiga hari ini sibuk di kantor, habis itu diminta nganterin Neng keliling." Lalu sambungnya lagi,
"Padahal sebelum berangkat istri saya lagi.. itu tuh Neng.. datang bulan."
Karena kepingin tahu kutanya terus,
"Jadi gimana dong?"
Keluguan dan kepolosannya semakin terlihat sewaktu dia menjawab.
"Yah pusing saja.. Apalagi ngeliat punggung Neng Mimien kenceng begini, kayak istri saya saja.., bedanya neng lebih putih aja."
Agak menahan tawa kuanjurkan padanya,
"Yah kalau pusing dilepas aja pakai tangan di kamar mandi sana."
Usulanku ini ternyata ditanggapi dengan serius oleh Adli.
"Iya yah Neng, bener juga, kalau gitu ditinggal sebentar ya Neng."
Adli berdiri lalu melangkah kearah kamar mandi. Seakan-akan tanpa beban
apapun ditinggalnya aku sendiri begitu saja. Masih terlihat olehku
tubuhnya yang ramping, kekar dan berotot itu. Tanpa sadar kutelan ludah.
Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di kerongkonganku.
Karena bosan dan juga ingin tahu, kalaupun belum karena dorongan gairah,
kususul Adli ke kamar mandi. Karena tidak terkunci pelan-pelan kubuka
pintunya dan akupun masuk dengan rasa penasaran. Adli tidak menyadari
kehadiranku di dekatnya. Terlihat dia sedang berdiri menyandar pada bak
mandi. Tubuhnya dalam keadaan telanjang, karena tadi baju kaosnya sudah
kusuruh lepas waktu sedang memijatiku. Walaupun kulitnya agak gelap,
secara keseluruhan dia terlihat gagah. Celana pendeknya masih
menggantung di pahanya, karena rupanya hanya dilorot sebagian.
Terlihat matanya terpejam menikmati apa yang sedang dilakukannya. Dari
gerakan pada lengannya kutahu dia sedang mengocok barang kepunyaannya.
Segera kutujukan mataku ke arah selangkangannya. Apa yang kulihat saat
itu membuatku kagum, dan juga nafasku sesak tersengal. Tangan Adli
sedang menggenggam alat kejantanannya, yang kelihatan besar dan panjang
sekali. Sangat berbeda dengan kepunyaan Mas Heru yang ukurannya
sedang-sedang saja. Ujung kepala kemaluannya bulat, keras dan mengkilat.
Seperti orangnya warnanya juga cokelat tua agak kehitam-hitaman.
Adli masih terus mengocok-ngocok barang kepunyaannya yang mengagumkan
itu. Karena matanya terpejam dia tidak menyadari bahwa aku telah semakin
dekat dengannya. Aku juga terbawa untuk memejamkan mataku. Terbayangkan
olehku hal yang tidak-tidak yang juga membuatku terangsang. Kurasa
sesuatu yang menggelegak dalam diriku. Sekali lagi aku sampai menelan
ludah. Lalu kuberanikan diriku dan menyapanya,
"Adli! Besar amat sih itu-nya?"
Adli terlihat sangat terkejut. Tersipu-sipu ia berkata,
"Aduh Neng, kok ada di sini.. Aduh maaf Neng!"
Segera kutenangkan dia, "Nggak apa-apa, nggak apa-apa kok."
Lalu sambil mengulurkan tanganku ke arah tonggak kejantanan Adli aku berkata,
"Coba lihat dong! Ukurannya kok sampai sebesar ini sih?"
Karena sudah terangsang tanpa dimintanya kujilati juga tonggak
kejantanan yang perkasa itu. Kesan lengket yang tadinya ada sekarang
sudah hilang, tersapu oleh jilatan lidahku. Sementara aku sedang
menikmati kejantanan Adli kudengar dia bertanya,
"Neng seneng ya sama ITU-nya Adli."
Kujawab singkat, "Iya dong, seneng sekali."
Rasa penasaran rupanya mendorongnya bertanya lagi,
"Kalau sama yang dulu-dulu."
Pertanyaannya membuat gairahku semakin bergejolak. Tapi kucoba juga untuk menjawabnya,
"Senengan yang ini."
Merasa belum puas dikejarnya terus jawabanku,
"Kenapa?"
Dengan nafas tersengal-sengal kujawab dia,
"Ini yang paling hebat, paling besar, paling kuat.. pokoknya.. paling jagonlah."
Adli tersenyum bangga. Lalu pelan-pelan didorongnya daguku hingga menjauh dari batang kemaluannya.
"Iya deh, sekarang Adli mau mandi dulu ya,' katanya meminta diri.
Sejenak aku merasa seperti ditinggal pergi dengan sengaja, bahkan
ditolak, atau malah dipermainkan. Rasanya hatiku tidak rela melepas Adli
pergi, biarpun hanya untuk ke kamar mandi.
Ke bagian 2