Mendung bergelayut diatas sekumpulan orang yang sedang bergerombol
mengitari liang di sebuah pemakaman umum di kota Surabaya yang panas.
Suasana sedih tampak jelas dari raut muka para hadirin di tempat itu.
Walau bermuka tegar dan berusaha tak menunjukkan kesedihannya, tapi hati
Antok meraskan kehilangan yang amat dalam. Edo adalah sahabatnya sejak
SMU dan sekarang meninggalkannya untuk selamanya. Dengan tatapan tajam
pada jenazah yang diturunkan ke liang lahat, Antok melepas sahabatnya
yang telah gigih berjuang melawan penyakit kanker selama satu tahun
terakhir ini.
Kembali ke rumah duka, Antok hanya duduk dilantai dipojok kamar tempat
sahabatnya mengehembuskan nafas terkahir. Dia hanya melamum mengenang
kejadian 2 hari yang lalu dimana Edo yang terbaring lemah diatas tempat
tidur dalam kamar itu bercerita tentang rencana pelangsungan pernikahan
yang sedang digagasnya. Dalam hati Antok merasakan sebuah peristiwa yang
sangat ironis dari rencana sahabatnya itu.
Hampir semua yang berada dalam rumah duka tersebut masih meneteskan air
matanya kecuali Antok. Sementara diluar masih ramai para teman Edo yang
juga temannya bercakap-cakap mengenang seorang teman yang baru saja
dimakamkan. Seorang teman mengajak Antok keluar untuk ikut
bercakap-cakap dan menerima tamu, tapi Antok hanya terdiam saja.
Calon mempelai Edo terlihat masih tersedu-sedu diruang tengah berusaha
ditenangkan oleh keluarga sahabatnya. Melihat kejadian itu, Antok juga
ingin menangis tapi otaknya yang penuh kenangan terhadap sahabatnya
mampu menghibur hatinya yang penuh kesedihan. Ingatannya kembali pada
masa lalu, masa dimana ia dan sahabatnya sering menghabiskan waktu
bersama untuk mempelajari hal-hal yang berbau teknologi komputer.
Kebersamaan Antok dengan sahabatnya yang baru saja meninggal itu naik
turun karena kesibukan masing-masing. Tapi sejak sahabatnya pindah
kembali ke kota Surabaya, kebersamaan Antok dan sahabatnya kembali
seperti saat-saat mereka di sekolah.
Walau tak banyak yang dilakukan Antok di rumah duka sahabatnya kecuali
diam dan merokok, tapi ia tak segera pulang hingga malam hari. Merasa
merepotkan keluarga sahabatnya, iapun dengan berat hati berpamitan
pulang. Ketika melangkahkan keluar dari pintu rumah itu, sebuah suara
yang datang dari arah belakang memanggilnya. Rupanya kakak perempuan
sahabatnya dari luar kota yang telah lama tak dijumpainya minta tolong
untuk diantarkan ke hotel tempatnya menginap. Antok sebenarnya sudah
agak lupa dengan wajah Mbak Eka, kakak sulung sahabatnya yang lebih tua 2
tahun darinya. Eka adalah satu-satunya anggota keluarga sahabatnya yang
tidak begitu dikenal oleh Antok.
"Tok, Sorry ya ngrepoti, bisa minta tolong mengantar aku dan Lusi balik?", tanya Eka tanpa basa-basi.
"Bisa Mbak, saya lagi lowong kok!", jawab Antok dengan serta merta.
Eka lalu balik kembali kedalam rumah dan tak lama kemudian keluar
bersama Lusi, calon mempelai sahabatnya. Berbeda dengan Mbak Eka, wajah
Lusi masih tampak sembab dan berjalan sangat pelan.
"Sorry ya, aku nemenin Lusi di kursi belakang, kamu sendirian didepan", kata Mbak Eka.
"Nggak apa-apa kok Mbak", jawab Antok.
Dilepas oleh beberapa anggota keluarga sahabatnya sampai depan rumah,
Antok segera menyalakan mobilnya dan mengantar Lusi dan Mbak Eka.
Didalam perjalanan Eka tak henti-hentinya berusaha menghibur Lusi dan
sesekali menasihatinya agar tetap tabah. Antok mengendarai mobilnya
dengan pelan sambil sesekali menanyakan arah tempat tinggal keluarga
Lusi pada Lusi karena sebelumnya memang belum pernah ketempatnya.
Sebelumnya memang Antok sudah dikenalkan sahabatnya pada Lusi, tapi hal
itu telah berlalu 6 bulan yang lalu saat ia diajak Edo ke Jakarta.
Karena perkenalan yang singkat dan tak pernah bertemu lagi hingga
sekarang maka Antok hanya mengenal Lusi sebatas yang Edo ceritakan
padanya.
Setelah sampai di rumah keluarga Lusi, Eka mengantarkan Lusi hingga ke
kamarnya. Antok yang duduk di ruang tamu mendengar isak tangis Lusi
kembali muncul ketika akan ditinggal Eka. Demi menenangkan calon adik
iparnya yang batal sepeninggal Edo, Eka terpaksa harus menunggu Lusi
hingga tenang kembali. Sementara itu, Antok yang banyak diam ditemui
oleh ayah Lusi di ruang tamu.
Dalam benak Antok timbul sebuah penasaran mengenai Eka. Dia heran
terhadap ketabahan Eka menerima kematian adik kandungnya. Dan yang
membuatnya heran lagi adalah sikap Eka yang menunjukkan kebijaksanaan
dalam tutur katanya yang lembut ketika menenangkan Lusi. Sebuah hal yang
sulit bagi seseorang yang berduka cita mendalam tapi mampu
mengendalikan emosinya apalagi mengendalikan emosi orang lain.
Antok tak mengenal Eka secara langsung tapi dari cerita-cerita Edo dan
anggota keluarganya yang lain, ia mengetahui bahwa Eka merupakan wanita
karier dengan prestasi yang membanggakan. Walau umurnya telah menginjak
kepala tiga tapi ia masih melajang. Antok yakin bahwa kelajangan Eka
bukan disebabkan oleh penampilannya. Penampilan Eka meski tak menyolok
tapi sangat menarik. Dengan tinggi 165 cm, berat tak lebih dari 60 kg,
tubuh atletis dan berparas manis mampu membuatnya dengan mudah memilih
pria yang disukainya bila ia mau. Tapi mungkin karena pekerjaannya
sebagai manajer HRD di sebuah perusahaan asing di Jakarta banyak menyita
waktunya sehingga saat ini ia belum berkeluarga.
Jam dinding rumah keluarga Lusi berdenting hingga 11 kali ketika Eka
mengajak Antok untuk berpamitan pada kedua orang tua Lusi. Seperti
sebelumnya, Antok mengendari mobilnya tanpa banyak bicara. Dia hanya
menanyakan nama hotel tempat Eka menginap. Berkali-kali Eka membuka
bahan pembicaraan tapi Antok tetap tak banyak komentar. Sesampai didepan
pintu masuk hotel, Antok menghentikan mobilnya dan berpamitan langsung
pada Eka. Semula Eka memang hanya ingin diturunkan di pintu masuk hotel.
Tetapi setelah melihat seseorang yang dikenalnya dari kejauhan ia
meminta Antok untuk mengantarnya kekamar.
Wajah tenang Eka berubah menjadi gelisah saat turun dari mobil. Antok
memang tak tahu apa yang terjadi pada Eka tapi ia merasakan ada sesuatu.
Ketika melewati lobby hotel, seseorang pria menyapa dan menghentikan
langkah mereka berdua. Eka menanggapinya dengan acuh tak acuh meski
tetap meladeninya bicara. Merasa bukan urusannya, Antok mengambil jarak
dari Eka. Seakan tak mau jauh dari Antok, Eka memegang pergelangan
tangan Antok dan menariknya agar tetap berada disampingnya. Pria itu
memperhatikannya dengan wajah cemburu.
Dalam keadaan masih berdiri, pria itu berbincang pada Eka dan berusaha
membujuknya segera balik ke Jakarta dengan berbagai alasan perihal
urusan kantor tanpa perduli terhadap kedukaan Eka sepeninggal adiknya.
Dengan tenang Eka meladeninya dan dapat membalik kata-kata pria tersebut
karena dia tahu maksud sebenarnya yang tak terungkap dari omongan pria
tersebut. Antok tetap saja diam tak ingin mencampuri urusan Eka dan
setiap kali berusaha mengambil jarak, gandengan Eka pada pergelangan
tangannya mampu menahannya.
Kesabaran pria itu mulai sirna.
"Meskipun Mr. Smith bos kamu telah memberimu cuti 5 hari, tapi dia pasti
akan menjadikanmu kambing hitamnya bila harga saham perusahaan jatuh
dalam minggu ini!", kata pria itu dengan nada tinggi.
Kata-kata itu membuat Eka terdiam karena dia merasa omongan pria itu ada benarnya.
"Maaf om, bukannya mau mencampuri urusan, tapi bukankah saham perusahaan
"X" habis rebound kemarin? Menurut prediksi malah akan terus naik
minggu ini karena masih under value. Dan lagi bukankah pasar yang
menentukan?", celetuk Antok dengan tenang tapi mengejutkan Eka maupun
pria itu.
Ucapan Antok mengingatkan Eka pada berita dari lantai bursa kemarin dan
semakin mengukuhkan pendiriannya untuk tidak segera kembali ke Jakarta.
Pada saat yang sama, pria itu merasa sangat marah pada Antok karena
mencampuri urusannya dan mematahkan argumennya.
"Tahu apa kamu tentang bursa saham?", tanya pria itu dengan nada menghina dan mendekat pada Antok.
Pria itu berusaha agar dapat berkelahi dengan Antok untuk melampiaskan
rasa kekesalannya yang sudah muncul sejak tadi. Tapi Antok hanya diam
dan menggeleng kepala, sedikitpun tak terprovokasi. Sumpah serapah yang
diterima Antok selanjutnya hanyalah bagai angin lewat tanpa sedikitpun
mengusik emosinya yang ikut terkubur bersama jenazah sahabatnya.
Antok tetap diam berdiri ditempat, tegar dan pasrah seakan siap menerima
apapun membuat pria itu makin marah dan mendorong-dorongnya dengan
keras tapi dicegah oleh Eka. Datangnya beberapa satpam dan pegawai hotel
tersebut membuat pria itu malu dan segera meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal pria itu Eka menggandeng tangan Antok mengajaknya ke arah
lift untuk menuju kekamarnya di lantai 4.
"Maaf ya Tok, aku jadi ngrepotin kamu!", kata Eka sesampai didalam kamar.
"Nggak apa-apa kok Mbak", jawab Antok tanpa ekspresi.
"Sebentar ya aku ganti pakaian dulu", kata Eka langsung masuk ke kamar mandi.
"Tok, kamu pandai masalah saham juga ya!", puji Eka sewaktu keluar dari kamar mandi tanpa mengenakan lagi celana jeans-nya.
Pujian Eka memotong lamunan Antok yang sedang menatap pemandangan malam
kota Surabaya dari jendela kamar hotel. Setelah memutarkan badan ke arah
ucapan Eka ia melihat sosok wanita cantik berkaki indah nan mulus hanya
mengenakan kemeja lengan panjang dan bercelana dalam saja. Antok
memperhatikan Eka yang sedang berjongkok mengambil minuman kaleng dari
lemari es kecil.
"Maaf Mbak, maksud saya tadi bukannya sok tahu soal saham, saya hanya
penasaran soal saham perusahaan Mbak, saham yang baru saja rebound
apalagi masih under-valued bisa kembali anjlok lagi seperti dibilang
orang itu", ungkap Antok dengan nada datar.
"Omongan pria itu hanya mengada-ada, dia itu yang sok tahu, analisa
sahammu cukup jitu", kata Eka sedikit menggoda sambil menyerahkan
minuman kaleng pada Antok.
"Analisa berita bukan analisaku", kata Antok tanpa ekspresi sedikitpun.
Eka menatap pemuda yang duduk didepannya dan lagi sibuk membuka kaleng
dengan rasa kagum. Hatinya merasa bangga pada adiknya yang tak salah
memilih sahabat.
"Tok, aku bisa minta tolong lagi? Tapi kalau kamu nggak bersedia nggak apa-apa!", tanya Eka.
"Nggak usah sungkan Mbak, kalau bisa ya aku bersedia", jawab Antok sambil mengusap ceceran minumannya di bibir.
"Keberatan nggak kalau kamu bermalam disini untuk jagain aku malam ini.
Soalnya pria tadi baru saja kuputus 2 hari yang lalu dan kelihatannya
masih belum bisa terima. Aku takut kalau tiba-tiba ia ngelabrak aku lagi
seperti tadi", ungkap Eka.
"Nggak masalah kok Mbak", jawab Antok.
"Pacarmu apa nggak marah kalau tahu kamu menginap di hotel berdua dengan cewek?", tanya Eka agak penasaran.
"Belum punya, Mbak!", jawab Antok singkat.
Berbekal salah satu gelar sarjana yang dimilikinya, psikologi, ditambah
dengan pengalamannya, Eka meyakini bahwa Antok tidak berbohong dengan
jawabannya. Keyakinan atas jawaban Antok beserta sikapnya membuat Eka
merasa terhibur.
"Tok, kalau ngantuk tidur aja disampingku, tempat tidurnya besar kok", ajak Eka sambil membaringkan badan dan menarik selimut.
"Silakan Mbak tidur dulu, saya nggak ngantuk kok", tolak Antok halus dan
kembali termenung dikursinya menatap langit dengan pandangan kosong
dari balik jendela kamar hotel.
Bagi Antok saat ini meninggalnya Edo masih memberinya perasaan hampa dalam hatinya seakan mengunci pintu emosi dan nafsunya.
Penolakan Antok akan ajakannya menimbulkan sedikit kekecewaan pada Eka,
meskipun sepenuhnya dapat memaklumi situasi dan kondisi Antok. Dalam
benaknya ia mempertanyakan kembali perasaan kecewanya. Sejak melihat
kembali Antok siang tadi setelah waktu yang sekian lama, ia sudah
menganggap pemuda itu sebagai adiknya. Dan ia yakin Antok menganggapnya
sebagai kakak yang tak pernah dia miliki. Tapi Eka heran pada
perasaannya sendiri. Munculnya getaran lain sewaktu mendengar jawaban
singkat Antok yang belum punya pacar dan timbulnya rasa sedikit kecewa
tadi membuatnya semakin penasaran. Dalam pembaringannya Eka masih dapat
melihat sosok Antok yang sedang duduk menerawang ke langit. Keberadaan
Antok sekamar dengannya memberinya selimut rasa aman yang lebih hangat
dari selimut yang sedang dipakainya. Kehangatan itu membawanya ke alam
mimpi.
Berjam-jam Antok hanya duduk sambil terus menggali kembali ingatannya
ketika bersama Edo. Seperti orang gila, Antok sesekali tersenyum seorang
diri. Tiap detik waktu berlalu membawa ingatannya setitik demi setitik
semakin menuju masa-masa akhir berhembusnya nafas Edo. Tak ada senyum
lagi. Setetes demi setetes air matanya meleleh hangat di kedua pipi
dinginnya. Suasana hening kamar dan sejuknya AC kamar hotel menambah
kerinduannya pada sahabatnya yang belum 24 jam meninggalkannya untuk
selamanya. Semakin kuat ia menahan perasaannya, isaknya semakin dalam.
"Antok, kamu Kenapa?", suara khawatir Eka mengagetkan Antok.
"Nggak apa-apa Mbak, masih gelap kok, tidur aja lagi!", jawab Antok
sambil mengusap air matanya berusaha menyembunyikan kesedihannya.
Eka yang khawatir pada keadaan Antok dapat menebak beban kesedihannya.
Eka turun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju ke tempat duduk
Antok. Lalu ia duduk di kursi yang berseberangan meja dengan kursi yang
diduduki Antok.
"Tok, putar kursimu dan mengobrol denganku, tak baik membenam kesedihan seperti itu", ucap Eka.
Walau menuruti perintah Eka untuk memutar kursi dan berhadapan dengannya
tapi Antok masih menyanggah perasaan sedih yang membebaninya pada Eka.
"Kamu nggak usah merasa malu menangis didepanku. Aku tahu bahwa kamu
sangat dekat dengan Edo. Selain Lusi aku dapat menebak bahwa kamu orang
selain keluargaku yang amat sangat kehilangan Edo. Bahkan mungkin beban
kesedihanmu bisa-bisa lebih berat daripada keluargaku sendiri", ungkap
Eka panjang lebar pada Antok.
"Kasihan Edo, masih muda seumur denganku, karier mantap, calon
pendamping sudah punya, tabungan hari tua juga cukup, tapi
penyakitnya..", kata Antok tak mampu meneruskan kata-katanya sambil
sesenggukan.