Di Kantor Sejak peristiwa di saung itu
aku berusaha untuk bersikap biasa, dia juga. Kami masih kerja bersama,
makan siang sama-sama dan bercanda seperti biasa, terutama di depan
teman-teman. Tapi kami menghindari percakapan yang lebih personal,
apalagi membicarakan peristiwa itu. Kuat juga usahaku untuk melupakan
hal itu, tapi yang ada aku makin sering melamunkannya. Membayangkan
desahan dan rintihannya, gelinjang-gelinjangnya, terutama remasan liang
nikmatnya di penisku. Aku tidak dapat melupakannya! Semakin hari aku
semakin tersiksa oleh bayangan Niki. Setiap kali lengan kami bergesekan,
dan ini tidak dapat dihindarkan karena memang selalu bersama, getaran
birahi menjalari tubuhku, dan berujung di selangkanganku yang mengeras.
Ia sendiri nampaknya biasa saja.
Suatu ketika dengan cuek ia menggayut di lenganku saat menaiki undakan
ke kantin, burungku langsung menggeliat. Sesudahnya saat memesan
makanan, sambil berdesakan ia menempelkan dadanya di lenganku.
Aku langsung berkeringat, berusaha untuk tetap tenang ngobrol dengan
yang lain di meja makan. Perlu setengah jam untuk 'menenangkan'
burungku. Sampai suatu hari, ia datang ke tempatku. Ruangku terbagi atas
kotak bersekat setinggi dada.
Setiap kotak berisi meja dan komputer untuk satu orang, yang kalau duduk
tidak kelihatan, tapi kalau berdiri kelihatan sampai dada. Selain itu
ada satu kotak yang agak besar berfungsi untuk ruang rapat, letaknya di
ujung dan selalu sepi kecuali ada meeting. Ia menghampiriku saat aku
sedang sendiri di ruang rapat. "Yang, nanti bantuin yaa. Aku mau
ngelembur." Panggilan 'Yang' membuat darahku berdesir. "Boleh. 'Bor'-nya
sapa yang mau dilempengin." Aku melempar canda biar agak santai.
Istilah 'ngelembur' oleh orang kantoran seringkali dipanjangkan sebagai
'nglempengin burung'. "Nglempenginnya sih kamu buka internet aja. Aku
sih bagian nglemesin..!" sahutnya cuek, sambil duduk di meja rapat,
tepat di depanku.
Darahku berdesir, langsung kontak ke selangkangan dan mengeras. Aku
menengok ke pintu masuk. Dua orang temanku sedang ngobrol asyik sekitar
lima kotak dari tempatku, yang lain sedang keluar. "Lagi sepi..!"
katanya, menebak arah pandanganku.
Lalu ia mengalihkan pandangannya ke bawah, arah celanaku. "Tuuh..
lempeng..!" ia terkikik sambil menyentuh dengan kakinya. Untuk
menetralisir, aku duduk di kursi sambil melonggarkan bagian depan
celanaku.
"Sorry, aku nggak bisa ngelupain kamu," kataku sambil mencari posisi
yang nyaman. "Memangnya aku bisa..?" jawabnya. Ia membuka pahanya
sedikit sehingga aku makin blingsatan, memutar-mutar kursi yang kududuki
sambil mengerakkannya maju mundur. "Sini dong maju, aman kok..!" Aku
memajukan kursi hingga pahanya tepat di depanku. Tidak menyia-nyiakan
tawaran yang kuimpikan siang malam, tanganku dengan gemetar mulai
merayapi pahanya, tapi Niki menahannya.
"Sstt.. tunggu..!" ia mendorongku, lalu turun dari meja. Niki
menempelkan pantatnya di pinggiran meja setelah roknya disingkapkan
sebatas pinggul. "Biar gampang nutup kalo ada orang." katanya. Niki
memang brilian dalam merancang 'pengamanan'.
Tanganku kembali menyusuri paha Niki, dengan berdebar-debar merayap
terus ke dalam. Niki mulai mendesah, mengepalkan tangannya. Bibirku
menciumi lututnya, dengan lidah kujelajahi sisi-sisi dalam pahanya
hingga tanganku mencapai pangkalnya.
Jariku menyusuri pinggiran CD-nya, tapi aku menyentuh bulu halus, celah
basah, benjolan kecil, aku penasaran, kurenggangkan pahanya. Ternyata
CD-nya dibolongi persis di sekitar vagina, terang saja jariku langsung
menyentuh sasaran.
"Bolong..," aku berbisik. "Iya, biar gampang dipegang," jawabnya.
"Kenapa nggak dilepas aja..?" "Keliatan dong, 'kan nyeplak di luar. Kalo
gini 'kan, kayaknya pake tapi bisa kamu pegang." ia menjelaskan,
lagi-lagi brilian! Aku mulai menggosok klitorisnya, sementara liangnya
sudah semakin basah.
Niki mengangkangkan vaginanya, pahanya diangkat menopang di meja,
kakinya sedikit jinjit. Dengan hati-hati lidahku kuselipkan di celah
labia mayoranya, menyapu klitorisnya berulang-ulang. Jariku yang sudah
basah oleh cairannya kubenamkan pelan-pelan di liangnya, kuputar-putar
mencari 'G-Spot'-nya. Saat kutemukan, G-spot- nya kugosok lembut dengan
jari tengah, sementara dari luar lidahku memainkan bagian bawah
klitoris.
Tidak lama Niki langsung mengejang, menggenggam rambutku kencang. (Saat
kami pacaran, aku belum tahu G-spot) "Yang.. udaah..!" ia berbisik,
memberikan saputangan untuk membersihkan jari, mulutku, dan liangnya,
sekalian buat mengganjal celana bolongnya biar tidak netes-netes.
Tiba-tiba pandangan Niki berubah serius, dilanjutkan dengan omongan yang
tidak jelas. "Soalnya yang aku print kok laen sama yang dipegang
bossku." Aku bingung tapi langsung menimpali, "Yang punyaku bener kok.."
kataku sambil berdiri. Benar saja, cewek-cewek Biro tempatku baru saja
masuk ruangan.
"Ya udah, nanti dikopiin lagi aja," lanjutnya sambil berjalan keluar,
"Terus yang ini jangan lupa disiapin.." saat melewatiku, tangannya
menjulur meremas bagian depan celanaku. Niki sempat ngobrol dulu dengan
teman-temanku.
Berbasa basi, lalu kembali ke ruangannya. Rasanya lama sekali menunggu
sore. Jam 5 kantor bubar. Aku naik ke tempat Niki yang satu lantai di
atasku. Niki sudah menunggu di ruangannya lalu mengajakku ke ruang
komputer yang terletak di sebelah.
Ia harus menyusun undangan seminar dari boss Hongkong-nya. Kubuatkan
program konversi daftar client dari database ke format txt untuk di-
merge dalam undangan, sementara Niki melakukan check ulang data
undangan.
Jam 7 malam satpam datang mengontrol seperti biasa. Niki memberitahu
bahwa ia masih pakai ruang komputer sampai jam sembilan. Aku sendiri
makin asyik dengan programku, tidak menyadari kalau Niki sudah
menghilang dari sebelahku.
Sadarnya waktu HP-ku berbunyi, ternyata Niki telpon dari ruangannya di
sebelah. "Sini dong Mass..!" ia berbisik, membuat darahku kembali
berdesir mengalir ke selangkangan. Aku meng-execute programku lalu
bergegas ke sebelah.
Ruang di seberangku masih terang, tapi tempat Niki sudah gelap. Aku
ragu-ragu, kucoba membuka ruang Niki, ternyata tidak terkunci, aku masuk
langsung menutup pintu. "Dikunci aja.." terdengar suara Niki berbisik
lirih.
Ruang itu terbagi jadi ruang pertama tempat Niki biasa duduk, ruang
tengah untuk meeting, terus ruang ujung tempat bossnya. Aku mengunci
pintu terus menghampirinya di ruang tengah, tempat bisikan itu berasal.
Dalam keremangan kulihat Niki duduk di meja meeting nyaris telanjang,
hanya tersisa CD-nya. "Buka baju Sayang, terus naik sini..!" Niki
menyapa dengan lembut, sapaan yang membuat birahiku menggelegak.
Niki duduk memeluk lutut kirinya yang ditekuk menopang dagu. Kaki
kanannya terlipat di meja seperti bersila. Di bawah cahaya lampu yang
lemah menerobos dari luar, sosok Niki bagaikan bidadari yang sedang
menanti cumbuan cahaya bulan. Aku berusaha tenang, membuka baju, sepatu,
celana, lalu dengan berdebar melangkah keluar dari onggokan pakaian dan
menyusul naik ke atas meja.
Niki membuka tangannya, lutut kirinya juga rebah membuka. Aku mengusap
pipinya dengan halus saat jari Niki menjelajahi leherku pelan, lalu
dada, lalu naik mengelus lenganku, pelan dan lembut menyusuri bagian
dalam lenganku ke arah ujung jari. Digenggamnya jari-jariku, dikecupnya
lalu dibawa ke leher, dada, mendekapnya sesaat. Lalu.. tiba-tiba aku
telah terbenam dalam dekapannya.
Dadanya yang bulat penuh menekan, memberikan kehangatan yang lembut ke
dadaku, kehangatan yang menjalar pelan ke bawah perut. Tanganku mengusap
punggung dan rambutnya, lalu entah gimana mulainya, tiba- tiba saja aku
sudah menciumi lehernya.
Kukecup hidungnya, keningnya, telinganya, Niki menggelinjang geli.
Kusodorkan bibirku untuk meraih mulutnya, ia merintih lirih dan
merangkulku sambil mulutnya bergeser mencari bibirku, lalu kami
berpagutan dengan lahap bagaikan kelaparan.
Pelukan dan ciuman ini yang sebenarnya paling kurindukan, yang tidak
dapat dilakukan saat di saung atau di ruanganku. Cinta dan ketulusannya
kini dapat kurasakan lewat peluk dan ciumannya. Niki terpejam manja saat
kujelajahi mulutnya dengan lidahku, bibirnya langsung menyedot dan
melumat lidahku dalam-dalam. "Oohh, Yang..!" Niki mengeluh saat tanganku
mulai merayapi tubuhnya, bermain di sekitar puting susu, turun ke perut
menyelusup ke CD-nya. Masih dalam pelukan ia merebahkan badan di meja
dengan dialasi jasnya si Hongkong.
Setelah rebah berdampingan kami mengendorkan pelukan, membebaskan tangan
agar lebih leluasa. Kami saling menyentuh bagian-bagian sensitif yang
masing-masing sudah sangat hapal. Niki memejamkan mata menikmati
sentuhan-sentuhanku, sementara jarinya mengurut lembut batang penisku,
dari pangkal ke atas, memutari helm lalu turun lagi ke pangkal, membuat
batangku keras membatu. "Yang..! Jilat..!" ia mendesah, aku mengerti
maksudnya. Aku bangkit, lalu bibirku mulai menciumi seluruh tubuhnya,
mulai dari lengan sampai ke ujung jari, kembali ke ketiak, menyusuri
buah dadanya ke tangan satunya. "Yaanng, Nik kangen jilatanmu..!" Niki
mengerang dan menggelinjang semakin kuat.
Saat jilatanku mencapai pangkal lengannya, Niki berbalik menelungkup.
Kini lidahku menyusuri pundak, Niki terlonjak saat lidahku mendarat di
kuduknya, lalu perlahan menjelajahi punggungnya. Saat jilatanku mencapai
pinggiran CD-nya, Niki kembali menelentang lalu sambil membuka CD-nya,
lidahku pelan-pelan menyusur pinggang, perut terus ke bawah.
Paha Niki membuka, menyodorkan bukit kemaluannya yang menggunduk dengan
belahan merekah ke hadapanku. Melewati pinggiran gundukannya, lidahku
meluncur ke samping, menjilati paha luar sampai ke jari kaki, lalu
kembali ke atas lewat paha bagian dalam.
Sampai di pangkal, lidahku menjelajahi lipatan paha, memutari pinggiran
bulu-bulu halusnya, lalu menyeberang ke paha sebelah. Niki melenguh
keras.
Aku menjelajahi kedua lipatan pahanya bolak balik, kadang lewat gundukan
bulu-bulunya, kadang lewat bawah liang vaginanya. Pahanya terkangkang
lebar, sementara cairannya semakin membanjir. Lalu tangannya menggenggam
rambutku, menyeret kepalaku dibenamkan ke tengah selangkangannya yang
basah dipenuhi cairan kenikmatannya. Aku langsung menyedot kelentitnya.
Niki tersentak, "Yaangg.. kamu.. nakal..!" rintihnya menahan nikmat yang
menggelora.
Dengan bertumpu kedua tangan, lidahku kini menjelajah dengan bebas di
celah vagina, menjilati klitorisnya dengan putaran teratur, lalu turun,
menjelajahi liang kewanitaannya. Niki mengejang sambil mengerang-erang.
"Yaang, udaah.. masukin..!" Niki mencengkeram leherku dan menyeretnya ke
arah bibirnya. Aku mengambil posisi konvensional. Batangku yang sudah
tegang mengeras menyentuh gerbang kenikmatan yang licin oleh cairannya.
Niki tersentak saat kepala penisku menyeruak di bibir vaginanya.
Kubenamkan kepala penisku sedikit demi sedikit, oh.. hangatnya vagina
Niki. Dinding vaginanya mulai bereaksi menyedot-nyedot, remasannya yang
selalu kurindukan mulai beraksi.
Kutarik lagi penisku, pinggul Niki menggeliat seolah ingin melumatnya.
Kubenamkan lagi batang penisku perlahan, Niki menaikkan pinggulnya ke
atas, sehingga setengah batang penisku ditelan vaginanya.
Pinggulnya diputar-putarkan sambil melakukan remasan nikmatnya.
"Ooogghh, Niikk.. aduuhh..!" desahanku membuat Niki semakin semangat
menaik-turunkan pinggulnya, membuat batang penisku seolah dipilin-pilin
oleh liangnya yang masih sempit.
"Maass.. tekaann Maass..! Niikii.. hh.. nikmaatt.. sekali..!" Pinggul
dan badannya semakin sexy, perutnya yang sedikit membesar membuat
nafsuku semakin menjadi-jadi.
Aku setengah duduk dengan bertumpu pada dengkul menggenjot penisku
keluar masuk vagina Niki yang semakin berdenyut. "Creekk.. creekk..
blees.." gesekan penisku dan vaginanya bagaikan kecipak cangkul Pak tani
di sawah berlumpur.
"Yaang, aduuhh, batangnyaa.. oohh.. Niik.. nggaak tahaan..!" Niki
badannya bergetar, pinggulnya naik turun dengan cepatnya, miring ke kiri
dan ke kanan merasakan kenikmatan penisku.
Badan Niki berguncang-guncang keras, goyangan pantatnya tambah menggila
dan lubangnya seakan mau memeras habis batang penisku. Spermaku rasanya
sudah mengumpul di kepala penis, siap menyembur kapan saja, susah payah
aku bertahan agar Niki mencapai klimaks lebih dulu. "Teken teruuss..!
Yuu bareng keluariin Maass..!" Goyangan kami makin menggila.
Aku menusukkan batang penisku setengah, dan setiap coblosan ke delapan
aku menekannya dalam-dalam. Akibatnya gelinjang pantat dan pinggul Niki
semakin menjadi-jadi. Sambil mengelepar-gelepar keasyikan, matanya
merem-melek.
Kuciumi dan kulumat seluruh wajahnya, bibirnya,%2