Sudah lama aku mengagumi Mbak Iin (biasa dipanggil Mbak In), kakak dari
Nana istriku, orangnya tidak terlalu tinggi sekitar 160 cm tingginya,
dengan wajah cantik alami, kuning langsat dan yang membuatku terpesona
adalah buah dadanya yang begitu padat (belakangan baru aku ketahui kalau
ternyata ukurannya 38C), ditambah dengan body-nya yang sintal menambah
kesan seksi.
Dibandingkan dengan istriku Nana, dia lebih seksi dan dewasa, karena
profesi dia sebagai agen *** (edited) yang mengharuskan dia ramah dan
mudah bergaul dengan lainnya. Usianya hanya satu tahun lebih tua dari
usiaku yang 27 tahun. Selama ini Mbak In sudah kuanggap sebagai kakak
sendiri, karena dia memang selalu menjaga jarak dan bersikap anggun,
sehingga aku semakin menghormatinya, meskipun di dalam hati ada hasrat
liar untuk menikmati kemolekan tubuhnya. Meskipun sudah menikah dan
punya satu anak, tetapi postur tubuhnya masih tidak berubah, bahkan
bertambah padat karena terus dilatih dengan olahraga yang teratur.
Hari Sabtu itu di rumahku suasananya sepi, Nana masuk kerja karena tutup
buku di kantornya, sedangkan aku sendirian di rumah nonton TV, di luar
hujan turun dengan derasnya disertai petir yang menggelegar.
"Ding dong.., Ding dong.." bel rumahku berbunyi.
"Ah, siapa sih hujan-hujan begini ngganggu orang saja..!" pikirku sambil malas mendekati pintu depan.
Ternyata Mbak In di luar pagar kehujanan dengan blazer-nya yang basah
kuyup, segera kubuka pintu pagar dan mempersilakan dia segera masuk.
"Sorry Hend, aku mampir kesini, abis Mas Roes (suaminya) belum pulang
dari menjemput si Puput (anaknya)." katanya sambil menggigil kedinginan.
Tanpa menunggu jawabanku, Mbak In langsung masuk dan melepas jas luarnya
yang basah, sehingga terlihat baju dalamnya yang tipis dan basah,
memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah. BH hitam kelihatan membayang
di balik baju putihnya, sementara tonjolan di dadanya seolah menantang,
karena baju basah itu begitu menempel di tubuhnya. Sungguh pemandangan
yang sangat indah yang tidak disangka-sangka dapat kusaksikan di hari
itu.
"Mbak In mandi aja dulu dengan air hangat, biar tidak masuk angin, nanti
kuambilkan bajunya si Nana.." kataku setelah tersadar dari ketakjuban.
Ketika Mbak In mandi, kucarikan baju Nana yang kira-kira cukup untuk dia
dan terutama yang kelihatan seksi, atau paling tidak dapat menikmati
lebih lama keindahan tubuh yang telah lama kuidamkan, apalagi
perkiraanku dia pasti tidak akan memakai celana dalam dan BH-nya yang
basah, sedikit banyak pasti akan segera melihat sebagaian tubuhnya yang
indah.
"Hend.., tolong handuk dong..!" teriak Mbak In dari kamar mandi.
"Ah, begonya aku sampai lupa tidak menyiapkan handuk dulu..!" batinku.
Sambil berlari kuambil handuk dari dalam lemari dan kuberikan ke Mbak In
yang sudah menunggu di pintu kamar mandi, tetapi dasar sial (atau
keberuntungan), karena terburu-buru aku tidak melihat lantai licin
karena tetesan air hujan dari tubuh Mbak In yang basah, sehingga aku
terpeleset. Akibatnya dengan tanpa dapat dikontrol lagi, tubuhku
terhuyung-huyung menerobos ke pintu kamar mandi dimana Mbak In sudah
menunggu dalam keadaan telanjang.
"Brak..!" tubuhku menabrak pintu dan menerobos masuk ke dalam tanpa
dapat ditahan lagi oleh Mbak In, langsung aku terduduk di lantai kamar
mandi, sementara Mbak In berdiri telanjang di depanku tertegun sampai
lupa menutup sebagian tubuhnya yang sensual.
Sesaat kami berdua tertegun tanpa berbuat apa-apa, akhirnya aku sadar dan memberikan handuk itu ke Mbak In.
"Sorry Mbak.." kataku segera menyerahkan handuk yang masih kupegang, terus keluar dari kamar mandi dengan terpincang-pincang.
"Ah nggak apa-apa kok, kan kecelakaan, nggak sengaja.." katanya memaklumi peristiwa tadi.
Setelah mengganti celana pendekku yang basah, di depan TV aku tidak
dapat berkonsentrasi. Meskipun mataku tertuju ke layar TV, tetapi
bayangan indah tubuh Mbak In sungguh sangat menggoda dan terus membayang
di benakku. Kemudian Mbak In keluar dari kamar mandi dengan berbalut
handuk yang tidak mampu menutupi seluruh tonjolan bukit di dadanya.
"Ini Mbak bajunya.." kataku masih gemeteran sambil memberikan daster
(lebih tepatnya baju tidur) milik Nana, sambil langsung ke dapur
mengambil air minum untuk menenangkan diri.
Kulihat pintu kamar belakang (kamar kosong untuk keluarga kalau bermain
atau menginap) gelap dan tertutup, "Ah, dia masih ganti baju, atau
mungkin langsung tidur.." pikirku.
Aku langsung menuju kamarku yang pintunya setengah terbuka, dan, "Aaahh.." teriak Mbak In.
Ternyata dia berdiri di depan kaca rias tanpa sehelai benang pun melekat
di tubuh indahnya, balutan handuknya sudah dilepas, tetapi masih belum
memakai daster yang kuberikan tadi. Tangannya berusaha menutupi bagian
tubuhnya yang sempat ditutup, tetapi itu tidak berhasil dengan baik,
sehingga aku masih dapat melihat tubuh telanjangnya untuk kedua kalinya
dengan jelas, apalagi lampu kamar yang begitu terang, jauh lebih terang
dari lampu kamar mandi, sehingga sangat jelas terlihat kemolekan dan
keseksian tubuhnya.
Sebagai laki-laki normal, langsung saja alat kejantananku bereaksi keras melihat pemandangan indah tersebut.
"Sorry Mbak, aku.. aku.. kira Mbak di kamar belakang.." kataku gugup
langsung keluar dan menutup pintu kamar, masih sempat kulihat dia
tersenyum yang tidak dapat kuterjemahkan artinya, bingung kenapa dia di
kamar utama.
"Hend.., tolongin Mbak dong..!" teriaknya dari dalam kamarku.
Perlahan kubuka pintu kamar, takut kalau kejadian tadi terulang lagi,
tetapi ternyata dia duduk di kursi di depan meja rias sambil menyisir
rambutnya yang masih basah dan mengenakan baju tidur yang kubawakan
tadi.
"Masuk aja Hend, nggak usah malu-malu.." katanya pelan dan tenang.
Agak ragu aku melangkah masuk ke kamarku sendiri. Mbak In berdiri
mendekatiku, dan langsung memelukku, kurasakan dadanya menekan tubuhku,
terasa hangat dan kenyal.
"Hend.., sudah lama aku menginginkan saat-saat ini, aku tahu kamu selalu berusaha mencuri pandang.." katanya lembut.
Aku tidak tahu harus berbuat apa, karena seolah dia menangkap basah
pikiranku. Kupeluk balik dia dan kuusap punggungnya. Akhirnya aku tidak
dapat menahan gejolak lagi ketika tangan Mbak In mulai mengusap
kejantananku yang sudah menegang sejak kehadirannya dirumahku.
Dengan penuh nafsu, kubuka baju tidur yang belum lama dipakainya dan
kusibakkan rambutnya yang basah dan mulai kucium leher jenjangnya,
kujilati kulit halusnya, sudah lama aku mendambakan kesempatan indah
ini.
"Aaaghh.., ss.. shh..!" desahnya sambil meremas batang kejantananku.
Tidak kusia-siakan kesempatan ini, tanganku mulai mengelus dan meremas
payudaranya yang besar dan indah yang sudah lama kuimpikan, begitu
kenyal dan padat, meskipun sudah memiliki satu anak. Kuturunkan ciumanku
ke pundaknya, terus turun lagi, tetapi tiba-tiba tubuhnya merosot dan
berjongkok di depanku, ditariknya celana pendek sekaligus celana dalamku
ke bawah, sehingga menyembullah kejantananku yang sudah lama menegang.
Sejenak dia tertegun melihat alat vitalku yang 17 cm panjangnya dan
melengkung ke bawah.
"Hend, gede banget.., jauh lebih gede dari punya Mas Roes dan lagi
bentuknya aneh, pasti enak deh di dalam.." katanya sambil menengadah
menatapku, dan tersenyum simpul.
Sedetik kemudian dijilatinya ujungnya dan dimainkannya lidah mungil itu,
menari-nari di kepala kemaluanku. Terus dijilati dari ujung hingga
pangkal, kemudian turun ke kantong kemaluanku. Kuangkat kaki kananku
untuk memberinya jalan supaya lebih mudah menjilati. Kemudian jilatannya
naik lagi ke atas hingga akhirnya dengan agak susah dikulumnya kepala
kejantananku, perlahan tetapi pasti. Akhirnya, tiga perempat batang
kejantananku masuk ke dalam mulut mungilnya. Sambil tangan kirinya
mengusap-usap kantong kemaluanku, tangan kanannya memegang dan mengocok
batang kemaluanku, sementara kepala batangku masih di dalam mulutnya
dengan tidak lupa digoyang-goyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan,
sungguh sensasi yang luar biasa.
"Aaahh.. oosshh.." erangku sudah hampir tidak tahan.
Kupegang rambutnya dan kudorong-tarik hingga kemaluanku dapat bergerak
leluasa keluar masuk di mulut seksinya. Kuangkat tubuhnya dan
kutelentangkan di ranjang, mulai kujilati puting di dadanya secara
bergantian kiri dan kanan, kurasakan badannya menggelinjang-gelinjang
keenakan. Terus jilatanku turun ke perut, lalu sampai ke pusar, dan
akhirnya menyentuh rambut bawahnya sambil tanganku bermain di daerah
liang kewanitaannya yang sudah basah. Lidahku mulai menjelajahi daerah
kemaluannya, sengaja aku tidak langsung ke arah klitoris, tetapi
berputar-putar di sekitar kemaluannya, terutama di lipatan pahanya,
terus turun sampai ke lubang anus dan naik lagi, diangkatnya pinggulnya
turun naik mengimbangi gerakan lidahku.
"Hen.. pleasse.. jangan.. goda.. aku.. begini.." desahnya sambil menarik rambutku, tetapi kata-katanya tidak kupedulikan.
Kuteruskan jilatanku mulai ke arah klitoris sambil kumasukkan tanganku
ke lubang kenikmatannya, satu jari.., dua jari.., dan akhirnya tiga jari
dapat masuk juga. Kugerakkan jariku keluar masuk sambil menjilat
klitorisnya.
"Aaagghh.., sshh.., shh.." desahnya sambil menggoyang-goyangkan
pinggulnya semakin liar, seliar kilatan dan guntur di luar yang mengiri
irama permainan kami.
Akhirnya kuposisikan tubuhku di atasnya, kutindih tubuhnya, masih dapat
kurasakan tonjolan di dadanya yang montok itu. Sementara tubuhku di
atasnya, sedikit kuangkat pantatku untuk memberi jalan tangannya supaya
dapat memegang kejantananku dan diusap-usapkannya ke liang senggamanya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, kudorong pantatku dan, "Bless..!" dan, "Aaauu..!" dia menjerit kesakitan.
Badannya menegang dan tangannya mencengkeram erat lenganku, kudiamkan
sejenak. Kulihat dia memejamkan matanya, kubiarkan menikmati saat-saat
seperti ini. Meskipun sudah mempunyai satu anak, tetapi liang
kemaluannya masih tetap kencang seperti belum pernah melahirkan.
Bersambung ke bagian 02