Sebut saja
namaku Adimas, seorang pemuda yang lahir 29 tahun yang lalu di sebuah
desa di lereng gunung lawu jawa tengah, tawang mangu tepatnya aku
dilahirkan dari sebuah keluarga petani sayur yang bisa dibilang
terpandang di kampungku. Hal tersebut terjadi karena orangtuaku adalah
pemilik mayoritas tanah di lereng gunung yang dingin itu.
Selepas menamatkan pendidikanku di mts (setara smu) di sekitar tempat
tinggalku, kulanjutkan pendidikanku ke ungaran di sebuah sekolah
kesehatan ternama di kota itu, sesuai cita citaku untuk mengabdikan
hidupku untuk membantu sesama, terutama kaum menengah kebawah seperti
penduduk di kampong tempat tinggalku.
Empat tahun sudah aku menjalani pendidikan di sekolah tersebut yang
kulalui dengan sungguh sungguh, berharap dapat lulus dengan nilai yang
memuaskan, sehingga dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan sesuai yang
aku harapkan.
Sudah tiga tahun aku lulus dari sekolah kesehatan, dan selama itu pula
aku bekerja di sebuah rumah sakit di semarang. Karena pada saat aku
lulus dengan peringkat ke tujuh dari 500 siswa, rumahsakit tempat aku
magang dahulu langsung merekomendasikan aku ntuk menjadi karyawannya,
walaupun masih phl (petugas harian lepas) tapi aku sangat bersyukur
waktu itu.
Dua tahun kemudian aku diangkat sebagai pegawai negeri dan di tempatkan
di sebuah rumah sakit jiwa yang masih berada di wilayah semarang.
Seketika pada saat aku menerima skep pengangkatanku di rumah sakit jiwa
aku menyesal. Apa yang harus ku perbuat dengan orang orang yang
menderita gangguan jiwa disana, bisa bisa aku malah ikutan jadi gila.
Singkat kata kujalani saja pekerjaanku dengan penuh rasa tanggung jawab
dan dedikasi hingga saat ini menginjak tahun ke dua.
Siang itu giliranku piket jaga untuk 24 jam kedepan, sekira jam sepuluh
pagi telepon di ruang piket berdering, setelah kuangkat ada permintaan
penjemputan seorang pasien yang diduga menderita gangguan jiwa. Dari
permintaan seseorang diseberang alat telepon yang mengaku anggota
kepolisian meminta pihak rumah sakit menyediakan peralatan untuk
menenangkan dan membawa pasien ke rumah sakit. Beberapa saat setelah
melakukan procedural pelaksanaan tugas kami bergegas menuju lokasi di
sebuah kota di daerah magelang.
Dari informasi sementara dari yang kami terima, calon pasien kami adalah
seorang remaja putri berusia dua puluh satu tahun yang menderita
gangguan jiwa dengan dugaan sementara karena telah direnggut
kegadisannya oleh kekasihnya yang kini sirna entah kemana...
Sampai dilokasi kami langsung disambut oleh isak tangis keluarga yang
memohon kesembuhan bagi putrinya. Dari keterangan petugas kepolisian dan
dari orang tua pasien geisha telah menjalin hubungan dengan andi yang
kini pergi setelah berhasil menggagahi putrinya, walau kemungkinan
kehamilan itu belum jelas namun trauma yang diderita geisha seorang
gadis dengan kulit putih dan badan yang montok itu sedemikian berat,
sehingga dalam sakitnya dia mengancam semua orang yang mendekatinya
karena khawatir akan memutuskan hubungannya dengan andi pacarnya.
“Tolong sembuhkan anak kami pak” sepatah kata yang terlontar dari mulut seorang ibu disela isak tangisnya.
Setelah melakukan pengamatan, saya dan satu rekan saya bambang
memutuskan untuk memberikan suntikan penenang kepada geisha demi
kemudahan perjalanan kami, dan setelah mendapatkan persetujuan dari
keluarga persiapan tindakan kami lakukan. Aku mengeluarkan satu ampule
deazepamp dan spetnya sedangkan bambang dengan senyum ramah berusaha
mendekati geisha yang dari tadi terus memeluk bantal sambil memanggil
nama andi...
Dengan cepat bambang menindih tubuh geisha dan menarik tangan kanannya
ke sisi untuk memberikan ruang bagiku untuk menyuntikkan obat penenang
ke nadi geisha. Lima belas detik kemudian usaha geisha untuk meronta
melepaskan pegangan bambang pun melemah dan ……………. Dia tertidur dalam
pengaruh obat penenang. Berdua kami menggendong tubuh geisha yang kini
lemas ke dalam mobil khusus expedisi pasien. Kami baringkan geisha di
bagian belakan kendaraan dan kami kunci pintu nya dari luar.
“ada yang mau ikut mengantar?” tanyaku kepada keluarga ketika akan meninggalkan rumah geisha.
“iya pak, tapi kami pakai mobil sendiri karena nanti sore kami harus kembali kesini” jawab ayah geisha.
Rombongan mobil berjalan beriringan dengan mobil kami berada di posisi
paling depan. Dalam perjalanan sesekali aku harus mengontrol kondisi
geisha karena khawatir kalau pengaruh obat penenang itu pudar walaupun
sebenarnya sudah kupersiapkan untuk lima jam perjalanan. Ketika
kulakukan pengecekan, terlintas dalam benakku ternyata geisha adalah
gadis yang cantik... Owhh,dengan rambut lurus sebahu... tinggi badan tak
kurang dari 160 cm ditambah badan yang montok... Benar benar gadis yang
cantik, bisikku.
“mbang, pasien kita cantik lho mbang” kataku kepada bambang yang sibuk mengendalikan kemudi.
“iya, tapi sayang gila” jawabnya tanpa ekspresi sedikitpun.
Hmm.………… sejenak kunikmati ayu wajah geisha, ingin rasanya kuremas buah
dada montok yang menyembul dari kaos putih yang dikenakan geisha. Dalam
benakku “lho kan ni mobil kan nggak ada jendela” so nggak mungkin orang
diluar melihat apa yang ku lakukan. Sedangkan bambang?? ... fokus ke
kemudi pikirku.
Iseng kuraba buah dada geisha yang terlihat menantang dibalik tulisan
guess di kaos ketatnya. Geisha diam saja ketika jari ku mulai menjelajah
ke vagina mungil yang dibalut celana jeans hitam, hanya kepala dan
badannya yang bergoyang – goyang karena gerakan kendaraan. Benar benar
useless ni cewek, membuatku semakin tak bisa menahan diri. Kurubah
posisi tangan geisha ke atas kepala dan mengikatkannya kepada besi
pengait yang ada di atas dragbar, kutarik keatas kaos putihnya sehingga
nampaklah sepasang buah dada nan indah menyembul dari balik kaos itu.
Kukulum dan kuhisap putingnya, kumainkan dengan penuh nafsu dan geisha
tetap terlelap dalam pengaruh obat p