Setelah merebahkan badanku beberapa lam ternyata mata ini tidak mau terpejam. Rumah yang besar ini terasa sangat sepi pada saat-saat seperti ini. Maklum suami bekerja di kantornya pulang paling awal jam 15.00 sore, sedang anakku yang pertama kuliah di sebuah PTN di Bandung. Anakku yang yang kedua tadi pagi minta ijin untuk pulang sore karena ada acara extrakurikuler di sekolahnya. Sebagai seorang istri pegawai BUMN yang mapan aku diusia yang 45 tahun mempunyai kesempatan untuk merawat tubuh. Teman-temanku sering memuji kecantikan dan kesintalan tubuhku. Namun yang sering membuatku risih adalah tatapan para lelaki yang seolah menelanjangi diriku. Bahkan temen-teman anakku sering berlama-lama bermain di rumahku. Aku tahu seringkali mata mereka mencuri pandang kepadaku.
Rumahku terletak di pinggiran kota S, kawasan yang kami huni belum terlalu padat. Halaman rumahku memang luas terutama bagian depan sedang untuk bagian samping ada halaman namun banyak ditumbuhi pepohanan rindang. Kami membuat teras juga disamping rumah kami. Sedang kamar tidurku dan suamiku mempunyai jendela yang berhadapan langsung dengan halaman samping rumah kami.
Belum sempat memejamkan mata aku terdengar suara berisik dari halaman samping rumahku. Aku bangkit dan melihat keluar. Kulihat dua anak SMP yang sekolah didekat rumahku. Mereka kelihatan sedang berusaha untuk memetik mangga yang memang berbuah lebat. Tentu saja kau sebagai pemilik rumah tidak senang perilaku anak-anak tersebut. Bergegas aku keluar rumah.
Seraya berkacak pinggang aku berkata pada mereka, "Dik, jangan dipetik dulu nanti kalau sudah masak pasti Ibu kasih".
Tentu saja mereka berdua ketakutan. Kulihat mereka menundukkan wajahnya. Aku yang tadi hendak marah akhirnya merasa iba.
"Nggak apa-apa Dik, Ibu hanya minta jangan dipetik kan masih belum masak nanti kalau sakit perut bagaimana" aku mencoba menghibur.
"Hayoo.. pada ngliatin apa!", Aku pura-pura mengagetkan mereka.
Tentu saja ini sangat membuat mereka menjadi sangat salah tingkah.
"Ti.. dak.. kok.. Bu Nita" Doni membela diri.
"I.. itu acara TV bagus Bu Nita" Edo menambahkan.
"Nggak apa-apa Ibu tahu kalian melihat tetek Ibu to.. ngaku aja" aku mencoba mendesak mereka.
"E.. Anu Bu Nita" Edo nampak akan mengatakan sesuatu, namun belum lagi selesai kalimat yang diucapkannya aku kembali menimpali, "Mama kalian kan juga punya to, dulu kalian kan netek dari Mama kalian"
"I.. ya Bu Nita" Doni menjawab.
"Tapi sekarang kami kan sudah nggak netek lagi, lagian punya Mama lain ama punya Bu Nita" Edo nampaknya sudah mampu menguasai keadaannya.
"Lain bagaimana?" Aku menanyakan.
"Punya Mama nggak sebesar punya Bu Nita" Doni menyahut.
"Doni, Edo kalian mungkin sekarang sudah nggak netek lagi karena kalian sudah besar kalian boleh kok.." aku berkata.
Tentu saja kata-kataku ini membuat mereka penasaran.
"Boleh ngapain Bu Nita" sergah Doni.
"Boleh netek sama Ibu, kalian mau nggak..?" tanyaku walau sebenarnya aku sangat sudah tau jawaban mereka.
"E.. ma.. u" jawab Edo.
"Mau sekali dong" Doni menyahut.
"Sabar sayang.. Ibu lepas dulu kutangnya" sambil tersenyum aku berkata.
Setelah aku melepas kutang, tumpahlah isinya, sekarang buah dadaku terbuka bebas. Mata mereka semakin melotot memandangi payudaraku. Tampaknya mereka bingung apa yang harus mereka lakukan.
"Ayo dimulai kok malah bengong" aku menyadarkan mereka.
Mereka bangkit dari duduknya. Tangan mereka kelihatan berebut untuk meremas.
"Jangan rebutan dong.. ah.. Doni yang kiri.. e yang kanan" perintahku.
Ketika baru nikmat-nikmatnya tiba-tiba Edo melepaskan isapannya sambil berkata, "Bu Nita kok nggak keluar air susunya?".
Aku kaget harus menjawab apa akhirnya kau menjawab sekenanya, "Edo mau nggak, kalo nggak mau biar Doni saja.. mau nggak?"
"Mau.." Edo langsung menyahut.
Doni tidak menggubris dia semakin lahap menikmati buah dadaku. Akhirnya aku ingin lebih dari sekedar itu.
"Don.. Edo.. ber.. henti dulu.." aku meminta.
"Ada apa Bu Nita?" Doni bertanya.
"Kita ke kamar saja yuk.. disini posisinya nggak enak" jawabku.
Kemudian aku berdiri tentu saja daster yang aku pakai merosot kebawah. Mata mereka menatap tubuhku yang sintal dengan penuh nafsu.
"Ayo.." aku mengajak.
"Don.. Edo.. sayang lepas saja seragam kalian" pintaku.
"Tapi Bu Nita" Edo masih agak ragu.
"Sudahlah turuti saja" aku menyahut.
Dengan malu-malu mereka mulai melepas baju dan celana seragam mereka. Tampaklah kontol-kontol dari pria-pria muda itu sudah ngaceng. Rambut kemaluan mereka tampak belum tumbuh lebat, sedang batang kemaluannya belum tumbuh benar masih agak kecil. Namun melihat pemandangan ini libidoku semakin naik tinggi.
"Bu Nita curang.." Edo berkata.
"Kok curang bagaimana?" aku bertanya.
"Bu Nita nggak melepas celana Ibu!" Edo menjawab.
"Ini namanya memek, lain dengan punya kalian" aku menerangkan.
"Kalian lahir dari sini" aku melanjutkan.
Tangan mereka mengelus-elus bibir kemaluanku. Sentuhan ini nikmat sekali.
"Ini kok ada lobang lagi" Doni bertanya.
"Lho ini kan lobang buat beol" aku agak geli sambil menerangkan.
"Ouw.. a.. duh.. e.. nak.. sekali.. nik.. mat.. sa.. yang.. terr.. us" aku merintih.
Akhirnya aku mendorong mereka aku bangkit dan menghampiri mereka yang berdiri di tepi ranjang. Aku berjongkok dihadapan mereka sambil kedua tanganku memegang diiringi dengan remasan-remasan kecil pada penis mereka. Aku mendekatkan wajahku pada penis Doni aku kulum dan jilati kepala penis muda nan jantan ini. Tampak kedua lutut Doni tergetar. Aku masukkan seluruh batang penis itu kedalam mulutku dan aku membuat gerakan maju mundur. Tangan Doni mencengkeram erat kepalaku. Sementara tanganku yang satu mengocok-kocok kontol Edo.
Tampaknya anak ini akan orgame aku nggak kan membiarkan hal ini terjadi karena aku masih ingin permainan ini berlanjut.
Kemudian aku beralih pada penis Edo. Tampak penis ini agak lebih besar dari kepunyaan Doni. Aku mulai jilati dari pangkal sampai pada ujungnya, lidahku menari di kepala penis Edo. Aku tusuk-tusuk kecil lobang perkencingan Edo kemudian aku masukkan seluruh batang penis Edo. Jambakan rambut Edo kencang sekali ketika aku semakin mempercepat kulumanku.
"Wouw.. a.. ku.. ju.. ga.. mo.. ken.. cing.. nih" Edo merintih.
Aku hentikan kulumanku kemudian aku bangkit dan naik ke atas ranjang lalu aku kangkangkan kakiku lebar-lebar sehingga memekku terbuka lebar.
"Siapa duluan sayang, itu tititnya dimasukkan ke sini" aku berkata sambil tanganku menunjuk ke lobang vaginaku yang nampak sudah basah kuyup.
"Ah.." aku mendesis seperti orang kepedasan
"Masukkan.. le.. bih.. da.. lam lagi.. dan genjot.. say.. ang" aku memberi perintah.
"Iya.. Bu Nita.. e.. naak.. se.. kali" Doni berkata.
Dan akhirnya "Sa.. ya.. mo.. ken.. cing.. la.. gi.. Tak.. ta.. han.. la.. gi.." Doni setengah berteriak.
Kakiku aku lipat menahan pantat Doni. Doni merangkul erat tubuhku dan.. cret.. cret.. ser.. cairan hangat membajiri liang kewanitaanku. Doni terkulai lemas diatas tubuhku, butiran-butiran keringat keluar dari sekujur tubuhnya.
"Iya.. tapi sekarang gantian Edo dong sayang" aku berkata.
Doni mencabut penisnya yang sudah agak mengempis dan terkapar lemas disampingku.
"Edo sekarang giliranmu sayang" aku berkata kepada Edo .
"Kamu tusuk Ibu dari belakang ya.."aku memberi perintah.
Kemudian aku mengambil posisi menungging sehingga memekku pada posisi yang menantang. Edo naik ke atas ranjang dan bersiap menusuk dar belakang. Dan bless.. penis pria muda yang kedua memasuki lobang kenikmatanku yang seharusnya belum boleh dia rasakan seiring dengan melayangnya keperjakaan dia.