Tante Rani Part I
Sudah menjadi cita-citanya sejak kecil untuk bisa duduk di bangku
perguruan tinggi. Apalagi kenyataan yang ada di kampungnya, masih dengan
mudah dihitung dengan jari orang-orang yang telah duduk di bangku
perguruan tinggi. Bukan karena tidak ada kemauan, tetapi dari semua itu
dikarenakan kebanyakan dari mereka keluarga yang sangat sederhana dan
rata-rata berada digaris kemiskinan. Selain itu jarak antara perguruan
tinggi yang ada sangat jauh, sehingga bila ada yang berkeinginan untuk
melanjutkan ke perguruan tinggi harus berganti mobil angkot minimal lima
kali, itu juga dengan bantuan kendaraan roda dua yaitu ojeg.
Sangat beruntung bagi Arie bisa sampai menyelesaikan pendidikan di
bangku SMA. Tapi lepas dari SMA kebingungan menyertainya, karena tidak
tahu harus bagaimana lagi setelah menyelesaikan pendidikan SMA.
Keinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi tetap besar. Namun semua
itu tentunya sangat berhubungan dengan biaya. Apalagi kalau kuliahnya
harus pulang pergi, tentunya biaya akan lebih tinggi dibandingkan dengan
biaya kuliahnya. Dengan segala kegelisahan yang ada, akhirnya semuanya
diceritakan dihadapan kedua orang tuanya. Mereka dengan penuh bijaksana
menerangkan semua kemungkinan yang akan terjadi dari kemungkinan
kekurangan uang dengan akan menjual sepetak sawah. Sampai dengan
alternatif untuk tinggal di rumah kakak ibunya.
Mendengar antusiasnya kedua orang tuanya, membuat semangat Arie
bertambah untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Memang keluarganya bisa
dikatakan mapan untuk ukuran orang-orang yang ada di kampung itu. Kedua
orang tuanya memiliki beberapa petak sawah dan menjadi salah satu tokoh
di kampung itu.
"Arie.." sapa ibunya ketika Arie sedang merapikan beberapa pakaian untuk
dibawa ke kota. Ini ada surat dari ayahmu untuk Oom di kota nanti.
Sebuah surat yang mungkin penegasan dari ayah Arie untuk menyakinkan
bahwa anaknya akan tinggal untuk sementara waktu di rumah Oomnya.
Sebetulnya orang tua Arie sudah menelepon Tuan Budiman tetapi karena
Tuan Budiman dan Arie sangat jarang sekali bertemu maka orang tua Arie
memberikan surat penegasan bahwa anaknya akan tinggal di Bandung, di
rumah Oomnya untuk sementara waktu.
Oomnya yang bernama Budiman memang paling kaya dari keluarga ibunya yang
terdiri dari empat keluarga. Oomnya yang tinggal di Bandung dan
mempunyai beberapa usaha di bidang jasa, percetakan sampai dengan sebuah
surat kabar mingguan dan juga bisnis lainnya yang sangat berhasil.
Hubungan antara Oomnya yang bernama Budiman dan kedua orang tua Arie
sebetulnya tidak ada masalah, hanya karena kedua orang tua Arie yang
sering memberikan nasehat karena kelakuan Oomnya yang sering
berganti-ganti istri dan akibat dari berganti-ganti istri itu sehingga
anak-anaknya tercecer di mana-mana. Menurut ibu Arie, Oomnya telah
berganti istri sampai dengan empat kali dan sekarang ia sedang menduda.
Dari keempat istri tersebut Budiman dianugerahi empat anak, dua dari
istri yang pertama dan duanya lagi dari istri-istri yang kedua dan
ketiga sedang dari istri yang keempat Om Budiman tidak mempunyai anak.
Anak Om Budiman yang paling bungsu di bawah Arie dua tahun dan ia masih
SMA di Bandung. Jadi usia Om Budiman kira-kira sekarang berada di atas
lima puluh tahun.
Sesampainya di kota Bandung yang begitu banyak aktivitas manusia, Arie
langsung masuk ke sebuah kantor yang bertingkat tiga. Kedatangannya ke
kantor itu disambut oleh kedua satpam yang menyambutnya dengan ramah.
Belakangan diketahui namanya Asep dari papan nama yang dikenakan di
bajunya.
"Selamat siang Pak," Tegur Arie kepada salah satu satpam yang ada dua orang.
"Selamat siang Dik, ada yang bisa dibantu," jawab satpam yang bernama Asep.
"Anu Pak, apa Bapak Budiman ada?"
"Bapak Budiman yang mana Dik," tegas satpam Asep, karena melihat suatu
keraguan bahwa tidak mungkin bosnya ada bisnis dengan anak kecil yang
baru berumur dua puluh tahunan.
"Anu Pak, apa ini PT. Rido," tanya Arie menyusul keraguan satpam. Karena
sebetulnya Arie juga belum pernah tahu dimana kantor-kantor Oomnya itu,
apalagi bisnis yang digelutinya.
"Iya.. Benar Dik, dan Bapak Budiman itu adalah pemilik perusahaan ini,"
tegas satpam Asep menjelaskan tentang keberadaan PT. Rido dan siapa
pemiliknya.
"Adik ini siapa," tanya satpam kepada Arie, sambil mempersilakan duduk di meja lobby bawah.
"Saya Arie Pak, keponakan dari Bapak Budiman dari desa Gunung Heulang."
"Keponakan," tegas satpam, sambil terus mengangkat telepon menghubungi Pak Dadi kepercayaan Tuan Budiman.
Selang beberapa menit kemudian Pak Dadi datang menghampiri Arie sambil
memberikan selamat datang di kota Bandung. "Arie.. Apa masih ingat sama
Bapak," kata Pak Dadi sambil duduk seperti teman lama yang baru ketemu.
Mimik Arie jadi bingung karena orang yang datang ini ternyata sudah mengenalnya.
"Maaf Pak, Arie Sudah lupa dengan Bapak," kata Arie sambil terus mengigat-ingat.
Pak Dadi terus menerangkan dirinya, "Saya yang dulu sering mancing
bersama Tuan Budiman ketika Arie berumur kurang lebih lima tahun."
Arie jadi bingung, "Wah, Bapak bisa saja.. mana saya ingat Pak, itukan sudah bertahun-tahun."
Selanjutnya obrolan dengan Pak Dadi yang belakangan ini diketahui selain
kepercayaan di kantor, ia juga sebagai tangan kanan Tuan Budiman. Bapak
Dadi mengetahui apa pun tentang Tuan Budiman. Kadangkala anak Om
Budiman sering minta uang pada Pak Dadi bila ternyata Om Budiman sedang
keluar kota. Malah belakangan ini Om Budiman membeli sebuah rumah dan di
belakangnya dibuat lagi rumah yang tidak kalah besarnya untuk Pak Dadi
dan istrinya sedangkan yang depan dipakai oleh istri mudanya yang kurang
lebih baru berumur 35 tahun.
"Aduh Dik Arie, Bapak tadi dapat perintah dari Tuan Budiman bahwa ia
tidak dapat menemani Dik Arie karena harus pergi ke Semarang untuk
urusan bisnis. Dan saya diperintahkan untuk mencukupi keperluan Dik
Arie. Nah, sekarang kamu mau langsung pulang atau kita jalan-jalan
dulu," sambung Pak Dadi melihat ekspresi Arie yang sedikit kecewa karena
ketakutan akan tempat tinggal. Melihat gelagat itu Pak Dadi langsung
berkomentar, "Jangan takut Dik Arie pokoknya kamu tidak akan ada
masalah," tegur Pak Dadi sambil menegaskan akan tidur dimana dan akan
kuliah dimana, itu semuanya telah diaturnya karena mempunyai uang dan
uang sangat berkuasa di bidang apapun.
Mendengar itu Arie menjadi tersenyum, sambil melihat-lihat orang yang
berlalu lalang di depanya. Kebetulan pada saat itu jam masuk karyawan
sudah dimulai. Begitu banyak karyawati yang cantik-cantik ditambah lagi
dengan penampilannya yang mengunakan rok mini. Keberadaan Arie sebagai
keponakan dari pemilik perusahan itu sudah tersebar dengan cepatnya.
Ditambah lagi dengan postur badan Arie yang atletis dan wajah yang gagah
membuat para karyawati semakin banyak yang tersenyum bila melewati Arie
dan Pak Dadi yang sedang asyik ngobrol.
Mereka tersenyum ketika bertatap wajah dengan Arie dan ia segaja duduk
di lobby depan, meskipun tawaran untuk pindah ke lobby tengah terus
dilontarkan oleh Pak Dadi karena takut dimarahi oleh Tuan Budiman.
Memang tempat lobby itu banyak orang lalu lalang keluar masuk
perusahaan, dan semua itu membuat Arie menjadi betah sampai-sampai lupa
waktu karena keasyikan cuci mata.
Keasyikan cuci mata terhenti ketika Pak Dadi mengajaknya pulang dengan
mengendarai sebuah mobil sedan dengan merk Mercy terbaru, melaju ke
sebuah kawasan villa yang terletak di pinggiran kota Bandung. Sebuah
pemukiman elit yang terletak di pinggiran Kota Bandung yang berjarak
kurang lebih 17 Km dari pusat kota. Sebuah kompleks yang sangat megah
dan dijaga oleh satpam.
Laju mobil terhenti di depan rumah biru yang berlantai dua dengan
halaman yang luas dan di belakangnya terdapat satu rumah yang sama
megahnya, kolam renang yang cantik menghiasi rumah itu dan sebagai
pembatas antara rumah yang sering didiami Om Budiman dan rumah yang
didiami Pak Dadi dan Istrinya. Sedangkan pos satpam dan rumah kecil ada
di samping pintu masuk yang diisi oleh Mang Ade penjaga rumah dan
istrinya Bi Enung yang selalu menyiapkan makanan untuk Nyonya Budiman.
Ketika mobil telah berhenti, dengan sigap Mang Ade membawa semua
barang-barang yang ada di bagasi mobil. Satu tas penuh dibawa oleh Mang
Ade dan itulah barang-barang yang dibawa Arie. Bi Enung membawa ke ruang
tamu sambil menyuruhnya duduk untuk bertemu dengan majikannya.
Pak Dadi yang sejak tadi menemaninya, langsung pergi ke rumahnya yang
ada di belakang rumah Om Budiman tetapi masih satu pagar dengan rumah Om
Budiman. Pak Dadi meninggalkan Arie, sedangkan Arie ditemani oleh Bi
Enung menuju ruang tengah. Setelah Tante Rani datang sambil tersenyum
menyapa Arie, Bi Enung pun meninggalkan Arie sambil terlebih dahulu
menyuruh menyiapkan air minum untuk Arie.
"Tante sudah menunggu dari tadi Arie," bisiknya sambil menggenggam tangan Arie tanda mengucapkan selamat datang.
"Sampai-sampai Tante ketiduran di sofa", lanjut Tante Rani yang pada
waktu itu menggunakan rok mini warna Merah. Wajah Tante Rani yang cantik
dengan uraian rambut sebahu menampakkan sifatnya yang ramah dan penuh
perhatian.
"Tante sudah tahu bahwa Arie akan datang sekarang dan Tante juga tahu
bahwa Om Budiman tidak dapat menemanimu karena dia sedang sibuk."
Obrolan pun mengalir dengan penuh kekeluargaan, seolah-olah mereka telah
lama saling mengenal. Tante Rani dengan penuh antusias menjawab segala
pertanyaan Arie. Gerakan-gerakan tubuh Tante Rani yang pada saat itu
memakai rok mini dan duduk berhadapan dengan Arie membuat Arie salah
tingkah karena celana dalam yang berwarna biru terlihat dengan jelas dan
gumpalan-gumpalan bulu hitam terlihat indah dan menantang dari balik
CD-nya. Paha yang putih dan pinggulnya yang besar membuat kepala Arie
pusing tujuh keliling. Meskipun Tante Rani telah yang berumur Kira-kira
35 tahun tapi kelihatan masih seperti gadis remaja.
"Nah, itu Yuni," kata Tante Rani sambil membawa Arie ke ruang tengah.
Terlihat gadis dengan seragam sekolah SMP. Memang ruangan tengah rumah
itu dekat dengan garasi mobil yang jumlah mobilnya ada empat buah.
Sambil tersenyum, Tante Rani memperkenalkan Arie kepada Yuni. Mendapat
teman baru dalam rumah itu Yuni langsung bergembira karena nantinya ada
teman untuk ngobrol atau untuk mengerjakan PR-nya bila tidak dapat
dikerjakan sendiri. "Nanti Kak Arie tidurnya sama Yuni ya Kak." Mendapat
pertanyaan itu Arie dibuatnya kaget juga karena yang memberikan
penawaran tidur itu gadis yang tingginya hampir sama dengan Arie. Adik
kakak yang sama-sama mempunyai badan sangat bangus dan paras yang sangat
cantik. Lalu Tante Rani menerangkan kelakuan Yuni yang meskipun sudah
besar karena badannya yang bongsor padahal baru kelas dua SMP. Mendengar
keterangan itu, Arie hanya tersenyum dan sedikit heran dengan postur
badannya padahal dalam pikiran Arie, ia sudah menaruh hati pada Yuni
yang mempunyai wajah yang cantik dan putih bersih itu.
Setelah selesai berkeliling di rumah Om Budiman dengan ditemani oleh
Tante Rani, Arie masuk ke kamarnya yang berdekatan dengan kamar Yuni.
Memang di lantai dua itu ada empat kamar dan tiap kamar terdapat kamar
mandi. Tante Rani menempati kamar yang paling depan sedangkan Arie
memilih kamar yang paling belakang, sedangkan kamar Yuni berhadapan
dengan kamar Arie.
Setelah membuka baju yang penuh keringat, Arie melihat-lihat pemandangan
belakang rumah. Tanpa sengaja terlihat dengan jelas Pak Dadi sedang
memeluk istrinya sambil nonton TV. Tangan kanannya memeluk istrinya yang
bermana Astri. Sedangkan tangan kirinya menempel sebatang rokok.
Keluarga Pak Dadi dari dulu memang sangat rukun tetapi sampai sekarang
belum dikaruniai anak dan menurut salah satu dokter pribadi Om Budiman,
Pak Dadi divonis tidak akan mempunyai anak karena di dalam spermanya
tidak terdapat bibit yang mampu membuahinya.
Hari-hari selanjutnya Arie semakin kerasan tinggal di rumah Om Budiman
karena selain Tante Rani Yang ramah dan seksi, juga kelakuan Yuni yang
menggemaskan dan kadang-kadang membuat batang kemaluan Arie berdiri.
Arie semakin tahu tentang keadaan Tante Rani yang sebetulnya sangat
kesepian. Kenyataan itu ia ketahui ketika ia dan tantenya berbelanja di
suatu toko di pusat kota Bandung yang bernama BIP. Tante Rani dengan
mesranya menggandeng Arie, tapi Arie tidak risih karena kebiasaan itu
sudah dianggap hal wajar apalagi di depan banyak orang. Tapi yang
membuat kaget Arie ketika di dalam mobil, Tante Rani mengatakan bahwa ia
sebetulnya tidak bahagia secara batin. Mendengar itu Arie kaget
setengah mati karena tidak tahu apa yang harus ia katakan. Tante Rani
menceritakan bahwa Om Budiman sekarang itu sudah loyo saat bercinta
dengannya.
Arie tambah bingung dengan apa yang harus ia lontarkan karena ia tidak
mungkin memberikan kebutuhan itu meskipun selama ini ia sering
menghayalkan bila ia mampu memasukkan burungnya yang besar ke dalam
kemaluan Tante Rani. Ketika mobil berhenti di lampu merah, Tante Rani
dengan berani tiduran di atas paha Arie sambil terus bercerita tentang
kegundahan hatinya selama ini dan dia pun bercerita bahwa cerita ini
baru Arie yang mengetahuinya.
Sambil bercerita, lipatan paha Tante Rani yang telentang di atas jok
mobil agak terbuka sehingga rok mininya merosot ke bawah. Arie dengan
jelas dapat melihat gundukan hitam yang tumbuh di sekitar kemaluan Tante
Rani yang terbungkus CD nilon yang sangat transparan itu. Arie menelan
ludah sambil terus berusaha menenangkan tantenya yang birahinya mulai
tinggi. Ketika Arie akan memindahkan gigi perseneling, secara tidak
segaja dia memegang buah dada tantenya yang telah mengeras dan saat itu
pula bibir tantenya yang merekah meminta Arie untuk terus merabanya.
Arie menghentikan mobilnya di pinggir jalan menuju rumahnya sambil
berkata, "Aku tidak mungkin bisa melakukan itu Tante," Tante Rani hanya
berkata, "Arie, Tolong dong.. Tante sudah tidak kuat lagi ingin gituan,
masa Arie tidak kasihan sama Tante." Tangan Tante Rani dengan berani
membuka baju bagian atas dan memperlihatkan buah dadanya yang besar.
Terlihat buah dada yang besar yang masih ditutupi oleh BH warna ungu
menantang untuk disantap. Melihat Arie yang tidak ada perlawanan,
akhirnya Tante Rani memakai kembali bajunya dan duduk seperti semula
sambil diam seperti patung sampai tiba di rumah. Perjalanan itu membuat
Arie jadi salah tingkah dengan kelakuan tantenya itu.
Kedekatan Arie dengan Yuni semakin menjadi karena bila ada PR yang sulit
Yuni selalu meminta bantuan Arie. Pada saat itu Yuni mendapatkan
kesulitan PR matematika. Dengan sekonyong-konyong masuk ke kamar Arie.
Pada saat itu Ari baru keluar dari kamar mandi sambil merenungkan
tentang kelakuannya tadi siang dengan Tante Rani yang menolak melakukan
itu. Arie keluar dari kamar mandi tanpa sehelai benangpun yang
menutupinya. Dengan jelas Yuni melihat batang kemaluan Arie yang
mengerut kedinginan. Sambil menutup wajah dengan kedua tangannya, Yuni
membalikkan badannya. Arie hanya tersenyum sambil berkata, "Mangkanya,
kalau masuk kamar ketok pintu dulu," goda Arie sambil menggunakan celana
pendek tanpa celana dalam. Kebiasaan itu dilakukan agar batang
kemaluannya dapat bergerak dengan nyaman dan bebas.
Arie bergerak mendekati Yuni dan mencium pundaknya yang sangat putih dan
berbulu-bulu kecil. "Ahh, geli Kak Arie.. Kak Arie sudah pake celana
yah," tanya Yuni.
"Belum," jawab Arie menggoda Yuni.
"Ahh, cepet dong pake celananya. Yuni mau minta tolong Kak Arie
mengerjakan PR," rengek Yuni sambil tangan kirinya meraba belakang Arie.
Melihat rabaan itu, Arie segaja memberikan batang kemaluannya untuk
diraba. Yuni hanya meraba-raba sambil berkata, "Ini apa Kak, kok
kenyal." Mendapat rabaan itu batang kemaluan Arie semakin menegang dan
dalam pikirannya kalau dengan Yuni aku mau tapi kalau dengan kakakmu
meskipun sama-sama cantiknya tapi aku juga masih punya pikiran yang
betul, masa tanteku digarap olehku.
Rabaan Yuni berhenti ketika batang kemaluan Arie sudah menegang
setengahnya dan ia melepaskan rabaannya dan langsung membalikkan
badannya. Arie kaget dan hampir saja tali kolornya yang terbuat dari
karet, menjepit batang kemaluannya yang sudah menegang.
Tangan yang tadi digunakan meraba batang kemaluan Arie kembali digunakan
menutup wajahnya dan perlahan Yuni membuka tangannya yang menutupi
wajahnya dan terlihat Arie sudah memakai celana pendek. "Nah, gitu dong
pake celana," kata Yuni sambil mencubit dada Arie yang menempel di susu
kecil Yuni. "Udah dong meluknya," rintih Yuni sambil memberikan buku
Matematikanya.
Saling memeluk antara Arie dan Yuni sudah merupakan hal yang biasa
tetapi ketika Arie merasakan kenikmatan dalam memeluk Yuni, Yuni tidak
merasakan apa-apa mungkin karena Yuni masih anak ingusan yang badannya
saja yang bongsor. Arie langsung naik ke atas ranjang besarnya dan
bersandar di bantal pojok ruangan kamar itu. Meskipun ada meja belajar
tapi Arie segaja memilih itu karena Yuni sering menindihnya dengan
pantatnya sehingga batang kemaluan Arie terasa hangat dibuatnya. Dan
memang seperti dugaan Arie, Yuni tiduran di dada Arie. Pada saat itu
Yuni menggunakan daster yang sangat tipis dan di atas paha sehingga
celana dalam berwarna putih dan BH juga yang warna putih terlihat dengan
jelas. Yuni tidak merasa risih dengan kedaan itu karena memang sudah
seperti itu hari-hari yang dilakukan bersama Arie.
Sambil mengerjakan PR, pikiran Arie melayang-layang bagaimana caranya
agar ia dapat mengatakan kepada Yuni bahwa dirinya sekarang berubah hati
menjadi cinta pada Yuni. Tapi apakah dia sudah mengenal cinta soalnya
bila orang sudah mengenal cinta biasanya syahwatnya juga pasti
bergejolak bila diperlakukan seperti yang sering dilakukan oleh Arie dan
Yuni.
PR pertama telah diselesaikan dengan cepat, Yuni terseyum gembira.
Terlihat dengan jelas payudara Yuni yang kecil. Pikiran Arie meliuk-liuk
membayangkan seandainya ia mampu meraba susu itu tentunya sangat nikmat
dan sangat hangat. Ketegangan Arie semakin menjadi ketika batang
kemaluannya yang tanpa celana dalam itu tersentuh oleh pinggul Yuni yang
berteriak karena masih ada PR-nya yang belum terisi. Memang posisi Arie
menerangkan tersebut ada di bawah Yuni dan pinggul Yuni sering
bergerak-gerak karena sifatnya yang agresif.
Gerakan badan Yuni yang agresif itu membuat paha putihnya terlihat
dengan jelas dan kadangkala gumpalan kemaluannya terlihat dengan jelas
hanya terhalang oleh CD yang berwarna putih. Hal itu membuat nafas Arie
naik turun. Yuni tidak peduli dengan apa yang terjadi pada batang
kemaluan Arie, malah Yuni semakin terus bermanja-manja dengan Arie yang
terlihat bermalas-malasan dalam mengerjakan PR-nya itu. Pikiran Arie
semakin kalang kabut ketika Yuni menggerak-gerakkan badan ke belakang
yang membuat batang kemaluannya semakin berdiri menegang. Dengan
pura-pura tidak sadar Arie meraba gundukan kemaluan Yuni yang terbungkus
oleh CD putih. Bukit kemaluan Yuni yang hangat membuat Arie semakin
bernafsu dan membuat nafasnya semakin terengah-engah.
"Kak cepat dong kerjakan PR yang satunya lagi. Yang ini, yang nomor sepuluh susah."
Arie membalikkan badannya sehingga bukit kemaluan Yuni tepat menempel di
batang kemaluan Arie. Dalam keadaan itu Yuni hanya mendekap Arie sambil
terus berkata, "Tolong ya Kak, nomor sepuluhnya."
"Boleh, tapi ada syaratnya," kata Arie sambil terus merapatkan batang
kemaluannya ke bukit kemaluan Yuni yang masih terbungkus CD warna Putih.
Pantat Yuni terlihat dengan jelas dan mulai merekah membentuk sebuah
badan seorang gadis yang sempurna, pinggul yang putih membuat Arie
semakin panas dingin dibuatnya. Yuni hanya bertanya apa syaratnya kata
Yuni sambil mengangkat wajahnya ke hadapanya Arie. Dalam posisi seperti
itu batang kemaluan Arie yang sudah menegang seakan digencet oleh bukit
kemaluan Yuni yang terasa hangat. Arie tidak kuat lagi dengan semua itu,
ia langsung mencium mulut Yuni. Yuni hanya diam dan terus menghidar
ciuman itu. "Kaak.. apa dong syaratnya", kata Yuni manja agresif
menggerak-gerakkan badannya sehingga bukit kemaluannya terus
menyentuh-nyentuh batang kemaluan Arie. Gila anak ini belum tahu apa-
apa tentang masalah seks. Memang Yuni tidak merasakan apa-apa dan ia
seakan-akan bermain dengan teman wanitanya tidak ada rasa apa pun.
"Syaratnya kamu nanti akan kakak peluk sepuasnya."
Mendengar itu Yuni hanya tertawa, suatu syarat yang mudah, dikirain
harus push-up 1000 kali. Konsentrasi Arie dibagi dua yang satu terus
mendekatkan batang kemaluannya agar tetap berada di bawah bukit kemaluan
Yuni yang sering terlepas karena Yuni yang banyak bergerak dan satunya
lagi berusaha menyelesaikan PR-matematikanya. Yuni terus mendekap badan
Arie sambil kadang-kadang menggerakkan lipatan pahanya yang menyetuh
paha Arie.
Setelah selesai mengerjakan PR-nya, Arie menggerak-gerakkan pantatnya
sehingga berada tepat di atas bukit kemaluan Yuni. Arie semakin tidak
tahan dengan kedaan itu dan langsung meraba-raba pantat Yuni. Ketika
Arie akan meraba payudara Yuni. Yuni bangkit dan terus melihat ke wajah
Arie, sambil berkata, "PR-nya sudah Kaak.. Arie," sambil menguap.
Melihat PR-nya yang sudah dikerjakan Arie, Yuni langsung memeluk Arie
erat-erat seperti memeluk bantal guling karena syaratnya itu. Kesempatan
itu tidak dilewatkan oleh Arie begitu saja, Arie langsung memeluk Yuni
berguling-guling sehingga Yuni sekarang berada di bawah Arie. Mendapat
perlakuan yang kasar dalam memeluk itu Yuni berkata, "Masa Kakak meluk
Yuni nggak bosan-bosan." Berbagai alasan Arie lontarkan agar Yuni tetap
mau dipeluk dan akhirnya akibat gesekan-gesekan batang kemaluan Arie
bergerak-gerak seperti akan ada yang keluar, dan pada saat itu Yuni
berhasil lepas dari pelukan Arie sambil pergi dan tidak lupa
melenggokkan pantatnya yang besar sambil mencibirkan mulutnya.
"Aduh, Gila si Yuni masih tidak merasakan apa-apa dengan apa yang
barusan saya lakukan," guman Arie dalam hati sambil terus memegang
batang kemaluannya. Arie berusaha menetralisir batang kemaluannya agar
tidak terlalu tegang. "Tenang ya jago, nanti kamu juga akan menikmati
kepunyaan%